Langsung ke konten utama

Writing Is Healing



Dear teman💦

Kita sangat sadar bahwa menulis adalah salah satu media untuk mengalirkan perasaan-perasaan yang terpendam yang bisa jadi kita sulit melakukannya dengan metode lain. 

Jadi dengan menulis adalah  salah satu cara yang sehat, yang adaptif untuk bisa mengalirkan apapun tema emosi yang kita rasakan. Baik itu yang bertema luka pengasuhan, bertema juga mungkin anger issue, konflik atau apapun itu.

Menulis adalah salah satu media sehat untuk bisa memulihkan dan tentu saja kita akan menghayati bahwa setiap perjalanan orang, sejarah hidup orang itu berbeda-beda, ada beberapa orang dengan menempuh writing is healing, terbantu penyembuhan luka batinnya, namun bagi sebagian orang ternyata nggak cukup dengan menulis.

Bila ternyata kita merasa menulis adalah terapi yang "gue banget", ayo lanjutkan!

Tapi bila beberapa teman merasa sepertinya sebelum melakukan penulisan ini masih terganjal, masih merasa belum mengalir emosinya maka lakukan teknik yang lain seperti katarsis, tapping, verbalisasi, self talk sampai forgiveness tentu saja. (Lain waktu akan diulas tentang teknik ini satu persatu yaaa, semoga ingat😉)

Nah, silahkan teman-teman terus menulis sebagai media pemulihan untuk kita menjadi lebih baik, untuk membersihkan hati dan tentu saja menyehatkan jiwa raga. Sehingga kita bisa melalui tahapan yang sedang "tidak baik-baik saja" menuju tahap "saya baik-baik saja".

Kenapa hal ini menjadi penting?

Sebab, kita sebagai manusia, fitrah penciptaan kita, tidak hanya berkutat di area-area survival atau bertahan hidup saja (makan, minum, reproduksi), padahal kita ada yang namanya zona healing, zona growing, kita beraktualisasi, kita berfokus pada misi, berfokus pada tugas spesifik sebagai hamba Tuhan yang diberikan amanah umur dan ilmu. Hidup kita harus penuh dengan manfaat, berbagi dengan orang lain meskipun lewat tulisan.

Toh, manusia itu sangat dinamis sebab kepribadian manusia itu sendiri juga dinamis. Kita sebagai manusia sudah diberikan aset yang berlimpah luar biasa, tinggal kita jalankan. Kita hanya membutuhkan keseimbangan antara pola pikir dan pola rasa yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan yang harmoni. Bisa jadi tulisan kita nggak hanya menjadi healing buat diri sendiri, namun juga mampu menginspirasi orang lain yang membacanya. Bonus produktivitas yang sungguh membahagiakan, bukan?😍

Oh ya tadi diatas sempat disinggung soal katarsis ya..Tahukah teman bahwa menulis adalah salah satu hobi yang bisa dijadikan sebagai katarsis stres? 

Katarsis adalah pelepasan emosi dan ragam perasaan negatif dari dalam diri dengan cara yang cenderung positif. Katarsis sendiri berasal dari istilah Yunani yang menggambarkan pembersihan. Katarsis dihubungkan dengan menghilangkan hal negatif dalam diri, misalnya stres, kecemasan, kemarahan, atau ketakutan yang berlebihan.

Istilah katarsis pertama kali digunakan dalam konteks psikologis oleh Josef Breuer, seorang kolega dan mentor dari guru besar teori psikoanalisis, Sigmund Freud, yang menggunakan hipnosis untuk membuat orang mereka ulang kembali peristiwa traumatis yang pernah dialaminya. Menurut Breuer, ketika seseorang dapat dengan bebas mengekspresikan emosi yang terkait dengan peristiwa traumatis, mereka akan mengalami katarsis atau pembersihan. Melampiaskan perasaan yang sebelumnya tidak tertangani dapat membantu seseorang mengatasi berbagai kondisi kesehatan mental.

Menulis merupakan contoh katarsis yang terapeutik. Tak sedikit psikolog yang menyarankan pasien mereka untuk menulis jurnal karena alasan terapi. Berdasarkan penelitian, menulis jurnal, selain dapat membantu kita melepaskan berbagai perasaan negatif, juga dapat membantu meningkatkan fungsi kognitif, menurunkan gejala radang sendi, asma, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Kita bisa menuliskan jurnal mengenai perasaan pada hari ini. Jika memang suka, kita juga bisa membuat puisi untuk mengekspresikan emosi melalui kata-kata. Jika perasaan negatif dalam diri disebabkan oleh kejadian traumatis, kita juga bisa menuliskan kejadian tersebut di dalam jurnal, agar emosi bisa terlepaskan.




Menulis—dalam hal ini menulis ekspresif—telah terbukti menjadi salah satu kegiatan terapi yang ampuh untuk melepaskan perasaan-perasaan negatif yang bercokol dalam diri. Efek yang dirasakan setelah menulis ekspresif, biasanya adalah perasaan plong dan lega.

Terbebasnya seorang dari perasaan-perasaan negatif dalam dirinya akan memudahkannya untuk merasa positif dan bahagia. Seperti sebuah rumah yang telah terbebas dari tumpukan sampah dan barang tak berguna, maka akan lebih lapang dan terasa nyaman, begitu juga dengan pikiran dan hati seorang. Saat sampah-sampah emosi negatif terbuang, maka perasaan akan lebih enteng, optimis, dan pikiran pun akan terasa lebih jernih. Solusi dan potensi yang tadinya tak terjamah karena tumpukan sampah emosi pun bisa ditemukan…

Adanya manfaat healing dari proses menulis secara ekspresif ini ditemukan pertama kali oleh Dr. James Pennebaker di tahun 1980-an. Pennebaker melakukan sebuah penelitian yang melibatkan dua grup eksperimen. Grup pertama diminta menulis secara ekspresif tentang perasaan dan pemikiran mereka tentang trauma dan pergolakan emosi masa lalu, sedangkan grup kedua diminta untuk menulis topik-topik yang umum dan netral, tanpa melibatkan emosi. 

Kedua grup diminta menulis selama 15 menit setiap hari selama empat hari berturut-turut. Hasil yang tak terduga ditemukan setelah kedua grup melakukan pengecekan kesehatan. Grup pertama memiliki sistem imun yang jauh lebih baik, ketimbang grup kedua. Penelitian Pennebaker adalah satu dari sekian banyak eksperimen yang semakin …

Thought suppression alias menekan pikiran atau menahan supaya tidak memikirkan masalah tersebut justru akan membuat kita tidak bisa lupa. Penelitian menunjukkan, suatu saat, kita tetap akan ingat dan efek negatif tetap akan muncul karena belum diproses dengan baik. Tanpa disadari, hal yang berusaha kita abaikan itu tetap ada dan akan ber-impact buruk pada fisik dan mental. Sekali lagi, tanpa kita sadari.

Sebagai salah satu ikhtiar untuk memproses beragam emosi negatif pun juga luka batin adalah dengan mengikuti workshop bertema mental health. Impact positifnya yang langsung terasa adalah lega. Kita jauh lebih menyadari apa saja yang bisa membuat ransel emosi kita penuh dan trigger apa saja yang dapat mengundang luapan emosi yang tidak perlu itu muncul. Selain itu, belajar mengelola perasaan dan pikiran agar tetap tenang dan juga belajar untuk menerima, memaafkan dan berdamai dengan luka-luka batin. 

Melakukan writing for healing adalah salah satu metode yang dapat dipilih untuk menjaga stabilitas perasaan dan pikiran. Biasanya, setelah memahami lebih banyak tentang mental health dan bagaimana menjaganya, kita akan lebih mampu meregulasi emosi, pikiran dan perasaan dengan lebih baik. Apakah lantas itu berarti kita menjadi tidak pernah emosional? Tentu tidak. State emosional memang kadang masih kita rasakan. Akan tetapi, kita jadi lebih tahu bagaimana untuk menghadapi dan mengatasinya dengan segera, sehingga tidak berakibat buruk bagi diri sendiri, terlebih pada orang lain.

Bagaimanapun emosi adalah fitrah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tugas kita adalah memahaminya dan meregulasinya agar segala jenis emosi tersebut bisa tetap ada dalam koridor yang memberikan manfaat untuk kita, bukan malah sebaliknya.

Jika dengan menulis ternyata kita masih memiliki ganjalan emosi juga gangguan mental lain (diantaranya: sulit tidur, kecemasan tetap tinggi bahkan menutup diri), maka sudah saatnya teman-teman meminta bantuan profesional (psikolog atau psikiater). Ada baiknya jika kita menyadari bahwa mental health awareness ini adalah hal yang sangat penting. 

Oh ya saya jadi ingat, kalau dulu menulis atau curhat suka di buku diary namanya, ya, biasanya setelah menulis bukunya diumpetin entah di manalah, di lemari di bawah baju, di bawah bantal, pokoknya di tempat-tempat di mana orang enggak boleh tahu, bahkan sampai beli yang berkunci saking rahasianya itu tulisan 😅. Kalau zaman sekarang kita menyebutnya jurnaling.

                                                                 💬💭💬💭

Ada sebuah kisah pribadi, jadi singkat cerita ternyata luka yang tak sengaja ditorehkan itu dampaknya terbawa sampai saya sudah menikah, terutama ketika bermasalah dengan suami. Selain itu juga berdampak kepada anak.

Apa dampak yang saya rasakan dari luka pengasuhan yang saya terima?

Saya selalu bermental korban, ketika memiliki masalah saya selalu menyalahkan masa lalu. Dalam hati saya selalu mengatakan, kalau misal dulu tidak begitu, saya tidak akan begini, bla, bla, bla ...

Kemudian, ketika suami menegur dengan caranya, saya sanget baper. Saya merasa tidak dicintai, saya merasa sendirian, lalu saya dramatisir sendiri tuh, tak ubahnya seperti anak remaja yang sedang marah.  Saya merasa orang yang paling menderita.

Saat menangis, dalam hati selalu saya mengatakan,  dulu orang tua kepada saya begini, sekarang suami kepada saya begitu,  kalau semua memperlakukan saya tidak menyenangkan begini kepada siapa saya lari? Saya butuh kasih sayang yang banyak, bukan mau dimarahi, bla, bla, bla. Saya terpuruk deh tuh berhari-hari, menikmati luka.😅🙈

Masih ada enggak yang suka kayak gitu, mendramatisir keadaan kayak di sinetron?😅

Sebenarnya tangisan yang kita dengar dari lubuk hati kita, berasal dari inner child yang terluka di dalam. Penyembuhan luka batin ini adalah kunci untuk mengubah kemarahan, kesedihan, dan takut. 

Lalu, ketika datang kesadaran bahwa mendramatisir keadaan, menghukum diri sendiri, sebetulnya saya sedang menyakiti diri sendiri, saya mulai menulis supaya waras lagi. Saya menulis ekspresif memuntahkan semua yang dirasa.

Begitu pun ketika bermasalah dengan anak, secara tidak sadar saya meneruskan pola asuh orang tua, saya sering memaksakan kehendak  yang tak jarang membuat anak saya menangis karena tidak nyaman dengan perlakuan saya. Hal tersebut membuat saya merasa menjadi ibu yang buruk.

Saya pun kembali menulis ekpresif mempertanyakan sikap-sikap saya. Mengapa saya begini, megapa saya begitu. Saya menyesali, memvalidasi emosi, lalu berdiskusi dengan diri sendiri melalui tulisan.

                                                                💬💭💬💭

Pennebaker (1997) pernah menjelaskan bahwa kemampuan menuliskan emosi dan mengekspresikan perasaan membantu individu untuk mengurangi pikiran-pikiran negatif dan emosi terutama yang berkaitan dengan trauma.

“Kita membawa cerita kita masing-masing selamanya di dalam sel kita; dan begitu kita mengeluarkannya dari diri kita ke dalam halaman (buku)– kita tidak akan pernah melupakannya, tetapi bebannya tidak lagi seberat itu karena sering [menulis] dapat meringankan beban.” – Nancy Slonim Aronie

Sometimes pain demands to be felt. Kadang rasa sakit itu memang menuntut untuk dirasakan. Tapi, itu bukan tanpa maksud. Merasakan, menerima, memvalidasi, dan mengalirkannya justru membantu kita menyembuhkannya dan menjadikan diri kita lebih kuat, ya.

Lalu, apa yang biasanya dirasakan setelah menulis?

1. Terbebas dari pikiran yang mengganggu dan berkecamuk di kepala sehingga bisa lebih mindfulness, lebih bisa berkonsentrasi dan lebih tenang tentunya.

2. Menjadi lebih dapat mengenali pemicu masalah dan mempelajari cara untuk mengendalikannya dengan lebih baik.

3. Kecerdasan emosional menjadi lebih baik, afek positif yang lebih tinggi atau perubahan perasaan menjadi lebih baik.

4. Muncul keyakinan dalam diri (self-efficacy)—terhadap kemampuan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu atau mengatasi suatu situasi—meningkat.

5. Last but not least, kesejahteraan mental dan kesehatan fisik yang otomatis turut meningkat.

                                                              💬💭💬💭

"Writing is medicine. It’s an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion to any difficult change.” – Julia Cameron

“Menulis adalah obat. Obat penangkal yang tepat untuk cedera. Obat pendamping yang tepat untuk setiap perubahan yang sulit.”

 – Julia Cameron

Experience your pain. Embrace your silence. When the time feels right, find your way back to your words—and write.”

― Sandra Marinell

“Rasakan sakit Anda. Peluk kesunyian Anda. Ketika waktunya terasa tepat, temukan jalan kembali pada kata-kata Anda—dan tulislah.”

                                                             💬💭💬💭

Setiap orang memiliki proses penyembuhan yang berbeda-beda baik dari segi cara atau metode juga lama waktu penyembuhan. 

Sebagian merasa cukup hanya dengan menulis ekspresif secara rutin. Sebagian lain merasa perlu untuk melengkapinya dengan terapi-terapi lain didampingi oleh ahli seperti psikolog dll. Jadi, memang tidak ada waktu yang pasti berapa lama seorang bisa sembuh dari luka batinnya, khususnya dengan metode terapi menulis. Ini juga tergantung tingkat keparahan luka yang dialami dan kekuatan seorang untuk healing.

Tapi, kalo saya boleh sharing, saya menyembuhkan luka batin dengan menulis adalah proses yang cukup ampuh …

Bagaimana dengan membuat cerita fiksi untuk menyalurkan perasaan? Apakah ada batas-batas tertentu dalam menulisnya?

Nah, menulis cerita fiksi juga bisa menjadi alternatif untuk menitipkan emosi, ide, dan segala pemikiran kita. Namun, tentu saja menulis cerita fiksi punya pakemnya tersendiri, tergantung dari jenis cerita fiksinya.

Apakah bisa menjadi katarsis? Penyaluran perasaan? Tentu bisa-bisa saja.😊

Namun, kalo buat saya, atau yang saya lakukan selama ini. Jika saya ingin meluapkan perasaan atau pikiran (utamanya yang emosional dan negatif) saya akan menulis ekspresif dulu sampai puas dan lega.

Jika sudah sampai pada tahap kelegaan, penerimaan dan mampu menarik hikmah atau moral dari setiap kejadian yang dialami…

Menulis merupakan salah satu metode terapi yang tujuannya di antaranya untuk mengungkapkan pengalaman emosional, untuk mengenali perasaan-perasaan yang tidak dimengerti, untuk mengurangi stress sehingga dengan menuliskan emosi-emosi yang dirasakan, pikiran kita menjadi lebih jernih dan emosi kita pun menjadi lebih stabil. 

Namun, jika setelah menulis "lukanya" masih terasa, kemungkinan pertama, saat katarsis masih ada emosi yang terpendam, masih ada emosi yang belum diakui dan belum terlepas sehingga perasaan masih terganggu dan menjadi moody

Setiap kita memiliki masalah yang berbeda-beda, yang tak jarang meninggalkan luka batin, membuat kita lelah secara emosional dan berdampak pada kegiatan sehari-hari.

Namun, luka batin ini insyallah dapat disembuhkan, salah satunya dengan penyembuhan diri atau self-healing. 

Ada banyak teknik self-healing yang bisa dilakukan seperti teknik katarsis, yaitu menuangkan luka ke dalam tulisan, ada juga teknik forgiveness (pemaafan) and grateful ( jurnal syukur), self-talk, tapping, empty chair, dan masih banyak lagi. Teknik-teknik ini bisa kita baca dari buku- buku bertema psikologi yang sejenis.

Sebagai penutup, mungkin saya mencoba mengingatkan kembali bahwa perasaan-perasaan negatif akibat dampak dari masalah yang kita hadapi hendaknya segera di release. Kadang ada beberapa teman yang mengatakan dibawa tidur aja, nanti juga hilang sendiri perasaan-perasaan itu.

Hihi, iya tidur juga bisa membantu, sih, tetapi kadang perasaan negatif itu bukannya hilang, tetapi mengendap kalau enggak diproses. Nanti berasa lagi ketika ada tambahan emosi baru, jadi lebih heavy bebannya, jadi bagaimanapun emosi negatif sebaiknya tetap dialirkan.

"Jika ingin memulai perbaikan di tema apa pun, mulailah dari diri sendiri. Lalu, lakukan 3L:

💫Luruskan niat karena Allah.

💫Libatkan ilmu agar bebenah terarah.

💫Langkah berjamaah.

Manusia memang tempatnya salah, temanlah yang mengingatkan. Manusia terkadang  berada di titik lemah, maka temanlah menguatkan.

Semangat menulis ya teman, writing is healing.


www.lokasaga.com


Komentar

  1. Mba Vita ini tuh sama banget deh dengan eventku di PCW yang sedang perekrutan kontributor. Ikutan yuk...Aku setuju banget dan sudah merasakan manfaat menulis. Mungkin dari kecil karena suka nulis-nulis di diary dan nulis surat untuk diri sendiri dan orang lain rasa meledag-meledag dan sedih itu bisa diredam.

    Thank you banget mba Vita, tulisan ini banyak kasih insight buatku.

    BalasHapus
  2. Mtenulis berarti mencurahkan apa yg ada di hati kita. Saya dulu menulis di buku harian rasanya plong bisa menyampaikan isi hati.

    BalasHapus
  3. betul banget, menulis salah satu cara saya untuk self healing, kalau khusus yang ini tidak dipublish, kalaupun dipublish sudah dipoles sehingga orang tidak tahu kalau itu bagian dari saya hehe
    btw suka dengan tampilan barunya mbak, cantik

    BalasHapus
  4. Ngena banget, nih tulisannya, mba, berarti harus coba nulis layaknya grup satu, ya, meluapkan perasaan. Sekarang, kan msh di kelompok 2, hehe. Thankyou mba for sharing artikel dagingnya.

    BalasHapus
  5. Mba, saya ngerasain banget soal manfaat menulis yang satu ini. Sampai-sampai saya buat tagline menulis adalah laksana terapi untuk Rekam Jejak Sang Pemimpi. Banyak luka diri saya yang akhirnya lindap bersama tarian aksara, entah ditulis di atas kertas atau diketik di laptop.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Harus Pura-Pura Bahagia

Berpura-pura kerap kali dimaknai dengan sesuatu yang tidak baik. Tapi terkadang dari persepsi yang lain, berpura-pura dianggap menimbulkan tindakan yang positif, seakan memang sangat diperlukan. Betulkah demikian? Yuk kita bahas. "Am I okay?" Hehehe. Belum tentu yang kita lihat di luar adalah benar-benar cerminan apa yang di dalam. Terkadang manusia pura-pura merasa bahagia karna tidak ingin terlihat lemah karna yang orang lain tahu bahwa kita ini kuat. Kapan terakhir kali kita merasa bahagia? Yaa benar-benar bahagia, bukan kita yang harus merasa bahagia...Cukup lama mungkin jawabannya. Menurut pakar Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Margaretha Rehulina, kondisi berpura-pura bahagia ini populer dinamakan Duck syndrome . Menampilkan diri seperti bebek (duck),  di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Orang yang berpura-pura bahagia berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perju

Sekolah Kehidupan

  Logo SKH "Ah, apa iya kehidupan itu ada sekolahnya?" Sebuah pertanyaan yang sempat terlintas dalam benakku... Kalau browsing internet tentang sekolah kehidupan pasti yang akan muncul adalah platform pembelajaran soft skill secara online berbasis aplikasi audio-based learning yang dapat diunduh secara gratis atau berbayar. Namun bukan itu yang akan ku ceritakan disini... Sekolah kehidupan yang ku maksud adalah sebuah komunitas pembelajar yang concern menerapkan tujuh ilmu penjernih hati dalam kehidupan sehari-hari. Apa saja ilmu penjernih hati atau disingkat 7IPH tersebut? Yaitu ikhlas, sabar, shalat yang khusyu', dzikir, syukur, tawakal dan berprasangka baik (waspada).  Tujuh Ilmu Penjernih Hati merupakan sarana mendekat kepada Allah SWT sekaligus membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati yang sering kita alami. Materi-materi yang terkandung didalamnya berkaitan sangat erat dengan hubungan antar sesama manusia ( hablum minannaas)  dan hubungan manusia dengan Sa

Negeri Ini Hampir Kehilangan Ayah

"Dunia AYAH saat ini tidak lebih dari sebuah kotak. Yaaa, kotak handphone, televisi dan laptop atau komputer. Miris!" Semua pengajar anak di usia dini mayoritas diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap  fatherless country . Banyak ayahdi luar sana yang malu mengasuh anak apalagi jika masih bayi. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini.  Dimana AYAH sang pengajar utama? Dear para ayah, Anak laki-lakimu belajar bagaimana menjadi laki-laki dewasa dari sikapmu dalam keseharian. Anak perempuanmu belajar membangun pemaknaan tentang definisi laki-laki dewasa itu seperti apa dari hasil pengamatannya pada dirimu. Seorang ayah boleh dan harus bersikap tegas namun bukan kasar. Terkadang sikap lembutmu juga sangat dibutuhkan namun bukan menandakan kalau dirimu lemah. Kalau anak laki-laki tidak dekat dengan ibunya, kelak dia dewasa mungkin susah memahami perempuan. Sedangkan anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya, kelak dewasa dia akan me