Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2022

Berdamai dengan Innerchild

               Ketika seseorang mengalami suatu peristiwa tidak menyenangkan atau menyedihkan sering kita mendengar kalimat...."biarlah waktu yang akan menyembuhkan". Betulkah demikian?  Waktu hanya mampu berlalu dan tak kuasa mengubah aku, kamu dan kondisi seseorang. Sejatinya perubahan hanya bisa dilakukan oleh sesuatu yang hidup. Meskipun waktu bisa berjalan namun tidak ditugaskan untuk melakukan perubahan. Jangan menyerahkan nasib kepada waktu. Jangan berharap waktu akan menyembuhkan segalanya. Jangan menunggu waktu sebab waktu tak pernah menunggu siapapun. Waktu tak punya kompetensi untuk menyelesaikan masalah manusia, apalagi sebagai obat penyembuh luka. Waktu hanya bisa berlalu begitu saja dan menjadi saksi bisu pada perubahan yang selalu ada. Itulah mengapa masih banyak luka yang tak sembuh seiring berjalannya waktu. Begitupun kondisi yang tak kunjung berubah, padahal waktu telah berjalan dalam hitungan ribuan detik. Boleh jadi, luka-luka kita di masa lalu disebabkan

Berkenalan Dengan Literasi Emosi Yuk!

Dear teman, Adakah drama emosi di keluarga kita? Apakah anak sering temper tantrum? Kakak adik yang suka berantem? Mogok makan atau sekolah? Tidak mau dijauhkan dari gadget? Tiba-tiba pulang dari pondok?  Apakah drama sama itu berulang tiada henti?  Jika iya jawabannya, maka sudah saatnya kita mencari solusi tepat yaitu belajarlah tentang literasi emosi! Wah apa itu Literasi Emosi?😏 Jadi begini.....Literasi Emosi adalah ilmu dan seni agar diri mampu bersahabat dengan emosi yang berbasis pada kelembutan hati. Ada empat dimensi literasi emosi yaitu : ⏩Mengenali ragam rasa dan emosi ; mengenali perbedaan rasa dan emosi, bagaimana tahapan, teknik         serta manfaat bersahabat dengan emosi. ⏩Mengasah hati dengan empati ; mengetahui definisi empati, bagaimana tahapan, teknik dan manfaat        mengasah empati. ⏩Mengelola ekspresi emosi ; mengenali perbedaan emosi dan ekspresi emosi, bagaimana tahapan dan        teknik mengelola emosi. ⏩Memaafkan dan meminta maaf dengan tulus sepenuh hati

Mengapa Harus Pura-Pura Bahagia

Berpura-pura kerap kali dimaknai dengan sesuatu yang tidak baik. Tapi terkadang dari persepsi yang lain, berpura-pura dianggap menimbulkan tindakan yang positif, seakan memang sangat diperlukan. Betulkah demikian? Yuk kita bahas. "Am I okay?" Hehehe. Belum tentu yang kita lihat di luar adalah benar-benar cerminan apa yang di dalam. Terkadang manusia pura-pura merasa bahagia karna tidak ingin terlihat lemah karna yang orang lain tahu bahwa kita ini kuat. Kapan terakhir kali kita merasa bahagia? Yaa benar-benar bahagia, bukan kita yang harus merasa bahagia...Cukup lama mungkin jawabannya. Menurut pakar Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Margaretha Rehulina, kondisi berpura-pura bahagia ini populer dinamakan Duck syndrome . Menampilkan diri seperti bebek (duck),  di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Orang yang berpura-pura bahagia berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perju