Langsung ke konten utama

Mengapa Harus Pura-Pura Bahagia



Berpura-pura kerap kali dimaknai dengan sesuatu yang tidak baik. Tapi terkadang dari persepsi yang lain, berpura-pura dianggap menimbulkan tindakan yang positif, seakan memang sangat diperlukan. Betulkah demikian? Yuk kita bahas.

"Am I okay?" Hehehe. Belum tentu yang kita lihat di luar adalah benar-benar cerminan apa yang di dalam. Terkadang manusia pura-pura merasa bahagia karna tidak ingin terlihat lemah karna yang orang lain tahu bahwa kita ini kuat.

Kapan terakhir kali kita merasa bahagia? Yaa benar-benar bahagia, bukan kita yang harus merasa bahagia...Cukup lama mungkin jawabannya.

Menurut pakar Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Margaretha Rehulina, kondisi berpura-pura bahagia ini populer dinamakan Duck syndrome. Menampilkan diri seperti bebek (duck), di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Orang yang berpura-pura bahagia berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perjuangan yang besar.

Istilah lain untuk orang yang berpura-pura bahagia ini sering disebut dengan "eccedentesiast". Eccedentesiast adalah sebutan bagi orang-orang yang suka menyembunyikan rasa sakit dibalik senyuman dan tertawanya. Jadi orang tersebut akan terus berusaha terlihat bahagia dan tak punya beban hidup padahal kenyataannya ia sedang menyimpan luka yang cukup dalam, sedang banyak masalah, sedang stres. Tujuannya agar orang lain di sekitarnya tidak merasa khawatir, tidak membebani orang lain dan melindungi privasi.

Perlu kita ketahui, bahwa orang yang berpura-pura bahagia itu justru bisa memperburuk perasaan. Kita tidak bisa menikmati hidup. Kita lebih mudah merasa stress yang berlebihan, putus asa bahkan depresi

Kita ingin agar orang lain melihat bahwa kita sedang bahagia. Kita ingin pura-pura baik, kita ingin pura-pura bahagia, kita tidak ingin orang lain tahu bahwa kita sedang tidak baik-baik atau ada beban berat yang kita simpan. Kita tutup rapat itu semua dan menampakkan wajah bahagia di hadapan orang lain.

Kita hanya perlu menampakkan wajah bahagia karena itulah yang lazim dilakukan oleh orang lain. Banyak ungkapan harusnya saya bahagia tapi kenyataannya saya tidak merasa bahagia. Itu yang banyak terjadi, bukan? Hanya karena seharusnya kamu merasakan bahagia, bukan berarti secara natural kamu pun merasakan bahagia. Bisa jadi malah kita merasa bersalah.

"Fake it 'Till You Make It" (Berpura-puralah dalam suatu hal sampai kamu menguasainya)

Pertanyaannya, sudah berapa lama kah kita berpura-pura bahagia? Apakah dengan berpura-pura kita menjadi benar-benar bahagia?

Jarang sekali pura-pura bahagia itu, membuat kita benar-benar bahagia. Yang tepat adalah berpura-pura bahagia membuat kita lelah, capek dan mengabaikan perasaaan sendiri. Kita jadi tidak tahu dengan perasaan sendiri karna sibuk memasang topeng bahagia.

Perasaan tersebut (emosi) perlu kita sadari, kita terima, kita rasakan dan kita maknai perannya masing-masing dalam kehidupan. Misal rasa sedih, kita tahu makna hadirnya rasa sedih agar orang lain hadir menemani, atau rasa kecewa yang datang menyadarkan kita bahwa tujuannya agar masa lalu yang menyakitkan hati kita tidak terulang kembali.

Ada beberapa langkah awal yang dapat diterapkan agar kita tidak perlu sering-sering untuk berpura-pura bahagia : 

  • Belajar mencintai diri sendiri dengan lebih intens agar kita lebih mengenali kapasitas diri.
  • Meluangkan waktu me time lebih banyak untuk mengungkapkan emosi dan tidak terlalu memforsir diri untuk hal-hal diluar kontrol kita.
  • Menjalani gaya hidup sehat, mindset positif serta mengurangi konsumsi media sosial atau lingkungan sosial yang berpotensi toxic.
  • Menyeimbangkan diri dengan lingkungan yang nyaman agar kita bisa menjadi apa adanya.
  • Yakinkan diri untuk selektif menempatkan diri kapan berpura-pura bahagia dan kapan harus cuti.
  • Banyak sharing dengan orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu kehidupan lebih tinggi dan lebih lengkap.

Orang yang selalu bahagia terus menerus itu "nonsense". Yang ada hanyalah orang yang paling pintar menyembunyikan kesedihannya. Tidak ada orang yang selalu bahagia, yang ada hanyalah orang-orang yang tidak mengijinkan  orang lain melihat kesedihannya. Kenapa kita harus menyembunyikan kesedihan? Bukankah kesedihan, kemarahan, kekecewaan adalah atribut kita sebagai manusia. Hal itu wajar dirasakan selama intensitasnya normal. Selama kita mampu memahami dan mengendalikannya. It's oke!

Kita perlu merasakan berbagai ragam emosi, tidak perlu tenggelam bersama emosi namun tidak juga menyangkalnya. Kita hanya perlu menerima dan menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan.

Kita butuh memaknai emosi, memaknai semua kejadian, semua yang hadir dalam hidup. Bukan berpura-pura bahagia. Dengarkan apa makna emosi yang ada dalam diri kita dan membuat diri kita bertahan. Selamat menemukan makna. Bahagialah secara natural.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekolah Kehidupan

  Logo SKH "Ah, apa iya kehidupan itu ada sekolahnya?" Sebuah pertanyaan yang sempat terlintas dalam benakku... Kalau browsing internet tentang sekolah kehidupan pasti yang akan muncul adalah platform pembelajaran soft skill secara online berbasis aplikasi audio-based learning yang dapat diunduh secara gratis atau berbayar. Namun bukan itu yang akan ku ceritakan disini... Sekolah kehidupan yang ku maksud adalah sebuah komunitas pembelajar yang concern menerapkan tujuh ilmu penjernih hati dalam kehidupan sehari-hari. Apa saja ilmu penjernih hati atau disingkat 7IPH tersebut? Yaitu ikhlas, sabar, shalat yang khusyu', dzikir, syukur, tawakal dan berprasangka baik (waspada).  Tujuh Ilmu Penjernih Hati merupakan sarana mendekat kepada Allah SWT sekaligus membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati yang sering kita alami. Materi-materi yang terkandung didalamnya berkaitan sangat erat dengan hubungan antar sesama manusia ( hablum minannaas)  dan hubungan manusia dengan Sa

Negeri Ini Hampir Kehilangan Ayah

"Dunia AYAH saat ini tidak lebih dari sebuah kotak. Yaaa, kotak handphone, televisi dan laptop atau komputer. Miris!" Semua pengajar anak di usia dini mayoritas diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap  fatherless country . Banyak ayahdi luar sana yang malu mengasuh anak apalagi jika masih bayi. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini.  Dimana AYAH sang pengajar utama? Dear para ayah, Anak laki-lakimu belajar bagaimana menjadi laki-laki dewasa dari sikapmu dalam keseharian. Anak perempuanmu belajar membangun pemaknaan tentang definisi laki-laki dewasa itu seperti apa dari hasil pengamatannya pada dirimu. Seorang ayah boleh dan harus bersikap tegas namun bukan kasar. Terkadang sikap lembutmu juga sangat dibutuhkan namun bukan menandakan kalau dirimu lemah. Kalau anak laki-laki tidak dekat dengan ibunya, kelak dia dewasa mungkin susah memahami perempuan. Sedangkan anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya, kelak dewasa dia akan me