Langsung ke konten utama

Mengubah Musibah Menjadi Anugerah




Dear ayah bunda......💦

Masih sering kami mendengar, orang tua yang menyiksa atau melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Masih ada juga seorang ibu yang membuang anaknya ke tempat sampah atau meninggalkan anaknya di pelataran masjid dan sebagainya. Oh ya masih ada pula, orang tua yang membuang anaknya karena dianggap bakal menyusahkan karena anak tersebut cacat sejak lahir.

Pertanyaannya, apakah anak-anak yang di buang atau di siksa orang tua nya ini lantas dianggap sebagai musibah? Apa yang salah?

Padahal di luar sana masih banyak pasangan suami istri yang begitu sangat mendambakan kehadiran seorang anak, hingga merelakan kesana kemari menjalani segala macam treatment yang tentu tidak murah dananya. Kami yakin mayoritas orang tua akan menganggap kehadiran anak adalah anugerah terindah dan tak ternilai yang dititipkan Tuhan. Sepakat ya,😊

Mengubah anggapan anak dari pembawa musibah menjadi anugerah tadi memang tidak semudah berkata-kata saja. Perlu pemahaman yang utuh tentang cara mendidik anak dengan pola asuh yang sesuai. Bukankah bicara tentang kehidupan di dunia ini, otomatis kita juga membicarakan proses belajar? Sebab hidup hanyalah perpindahan dari satu ujian ke ujian selanjutnya.😑

Sekolah formal saja kita selalu dihadapkan dengan berbagai ujian untuk mencapai kesuksesan apalagi sekolah kehidupan tentang pendidikan anak. Pasutri (pasangan suami istri) atau orang tua perlu belajar bagaimana cara mengasuh dan membahagiakan anak. Jangan sampai kurang ilmu yang lantas menyebabkan orang tua ini salah asuh apalagi salah urus dan amit-amit jabang bayi menganggap anak sebagai beban orang tua.😓

Contoh sepele, soal bicara saja, masih banyak kok orang tua yang disconnect dengan anaknya. Kapan orang tua bicara banyak dengan anak? Saat anak bermasalah atau sebaliknya? Kenyataannya memang pada saat anak bermasalah. Kita mungkin masih sering mengatakan "Diam jangan berisik, ayah/ibu capek, mau istirahat." atau kalimat hardikan lainnya seperti "Ayah/ibu itu capek kerja buat bayar sekolahmu yang mahal!"

Kira-kira dengan kalimat-kalimat seperti ini, apakah orang tua sudah merasa benar mendidik anak dan membahagiakan anak? Ternyata berbicara atau komunikasi dengan anak pun ada ilmunya dan harus dipelajari agar keduanya memiliki kesamaan frekuensi. Antara orang tua dan anak butuh keterhubungan hati satu sama lain agar nasihat-nasihat yang keluar dari mulut orang tua dapat diterima dengan baik oleh anak-anaknya.

💛Mau repot mengurus anak

Misalnya saat balita, punya anak aktif itu kan sehat untuk tumbuh kembang. Tapi karena aktif mereka jadi tak dapat diam, main kesana kemari, menyentuh berbagai macam benda, eksplor dll. Orang tua dituntut untuk membimbing anak membereskan mainan sendiri, mengawasi anak agar tak bahaya dan lainnya.

Tapi, karena tak mau repot, akhirnya anak diberikan gadget, nonton tv berlama-lama, main tanpa pengawasan, tidak tahu dia berteman dengan siapa, ke masjid masih kecil tanpa pendampingan dan lainnya.

Sesungguhnya ini hanya menunda kerepotan. Karena kurang "aktif" yang terjadi jadi kurang stimulasi? Gampang rewel, gampang ngamuk, nilai yang gak sesuai, gangguan pemusatan perhatian, speech delay dan lain sebagainya.

💛Menyediakan waktu bukan menyisakan waktu untuk anak.

Misalnya, ingin anak rajin ibadah dan taat pada Tuhannya? Ya kenalkan, ceritakan dengan rutin siapa itu Tuhan? Sebelum ngomongin menurut agama harus gini, harus gitu, tidak boleh ini dan itu, jauuuuh sebelum ngomongin aturan, ya anak harus tahu terlebih dahulu, siapa sih "Pengatur" itu?

💛Ma'rifatul AMIR Qoblal AMR (Mengetahui "siapa" yang memberi perintah sebelum memerintah)

Mengenalkan siapa yang memerintah (Targhib), harus lebih banyak dibandingkan membicarakan apa saja perintah-Nya. Bukan sekedar pembiasaan, pembiasaan dan pembiasaan (Tarhib) melulu yang akhirnya anak jadi "garing" dengan aturan dan akhirnya "malas" dengan agama itu sendiri.

Itu baru soal aqidah, belum turunannya, tentang baik dan buruk, tentang tanggung jawab, tentang kemandirian, tentang "respect orders" dan lain sebagainya.

Ingat ya ayah bunda, semua anak butuh "software" untuk menjadi panduan "hardware", yaitu perilakunya. So, kalau kita tidak melakukannya, jelas anak kita akan mendapatkannya dari tempat lain. Lantas kita menyebutnya dengan istilah yang gampang penyebutannya, "ah, anak saya terpengaruh temannya kok."

💛Orang tua harus mau belajar agar kompeten

Apa yang terjadi jika kita mengendarai mobil tanpa kompetensi? Gak pernah belajar dulu sebelumnya? Mungkin nanti akan mencelakai orang lain, bukan?Atau berpeluang melukai diri sendiri dan setidaknya mobilnya jadi nabrak dan rusak.

Berapa banyak contoh di sekitar kita, anak-anak yang waktu kecilnya ganteng atau cantik, lucu, menggemaskan, eh setelah dewasa berubah menjadi "fitnah" buat orang tuanya, musibah untuk lingkungannya dan tak amanah saat mereka menjadi manusia dewasa.

Ada apa ini?

Apalagi, kita hidup di zaman yang mana informasi tersedia melimpah, sumber kebenaran menjadi tidak tunggal. Anak-anak kita akan menguji informasi, nilai dan apapun yang disampaikan oleh orang tuanya. Berbeda dengan orang tua kita zaman dulu, yang tidak punya kompetitor, apapun yang terjadi berkaitan pendidikan dan pengasuhan anak terlihat aman-aman saja, meskipun tanpa skill.

Sekarang??? Ngeri gaesss😂


Gak jarang, di ruang konseling kami menemukan para orang tua yang mengeluhkan anak-anaknya yang suka memukul. Padahal bila di runut ke belakang anak yang suka memukul adalah penyebab dari pola asuh :

⏩Ayah bunda yang sering memberikan hukuman  fisik.

⏩Membiarkan anak melihat adegan kekerasan dari game dan televisi

⏩Mengumbar larangan "jangan memukul" atau "jangan nakal"

⏩Mengambil alih menyelesaikan konflik antar anak

⏩Tidak memberikan kesempatan anak belajar dari pertengkaran sehat

Ada juga nih yang para orang tua yang mengeluhkan "kok anakku suka misuh (bicara kotor) ya sekarang?". Padahal anak yang suka berbicara kasar dan tidak sopan tersebut secara tidak disadari adalah buah dari pola asuh orang tua atau caregiver di sekitarnya, antara lain :

⏩Berbicara kasar di depan anak, meskipun dengan maksud bercanda.

⏩Tidak menyeleksi tontonan dan bacaan anak

⏩Tak ada aturan yang jelas dan konsisten

Ayah bunda....coba biasakan kaki dulu baru mulut ya.

Artinya, kalau memberikan perintah pada anak, coba deh dekati dulu anaknya, jangan teriak-teriak dari kejauhan. Insya Allah lebih beradab dan perintah ayah/bunda lebih bisa diterima oleh anak.

Yeps, orang tua yang luar biasa adalah termasuk orang tua yang mengajarkan anak-anaknya literasi emosi (next, kami bahas lebih khusus lagi). 

Berilah ruang ekspresi untuk anak mengenal dan meregulasi emosinya. 

Berilah self control buat anak.

Tolonglah ayah, bunda....anak-anak janganlah di vonis dengan kalimat : "kok nangis?", "cengeng ah gitu aja kok nangis" dan sejenisnya. Dikhawatirkan saat mereka beranjak besar, anak-anak ini bukan percaya pada keluarganya sendiri. Lebih parahnya lagi, bisa jadi mereka terlanjur takut akan dilabeli ini dan itu oleh orang tua nya sendiri.

Yuk ayah, bunda... kita bersama-sama introspeksi atau muhasabah, sudahkah keluarga kita menjadi rumah yang nyaman untuk anak-anak kita pulang?

Memulangkan raga yang letih dan juga jiwa yang lelah.

Semangat berproses yaa ayah dan bunda semua, pengingat inipun teruntuk diri sendiri💪💪💪

Salam baik!❤


-"Dan ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS Al Anfaal : 28). 

-"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.." (QS Al-Baqarah : 155)

-"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas." (QS Az-Zumar : 10)



Komentar

  1. Setuju sekali Mba Husna, kita sebagai ibu harus banyak belajar juga untuk mengimbangi pengetahuan anak yang berkembang sangat cepat, karena fasilitas teknologi untuk mendapatkan informasi tentang segala hal sudah sangat terbuka. Anak2 sekarang jadi kritis. semoga kita bisa menjadi orangtua yang menyamankan anak-anak kita. aamiin.

    BalasHapus
  2. Masya Allah. Benar kak. Adanya musibah bukan berarti mengeluh. Tapi harus dijadikan sebagai muhasabah diri ya kak.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berdamai dengan Innerchild

               Ketika seseorang mengalami suatu peristiwa tidak menyenangkan atau menyedihkan sering kita mendengar kalimat...."biarlah waktu yang akan menyembuhkan". Betulkah demikian?  Waktu hanya mampu berlalu dan tak kuasa mengubah aku, kamu dan kondisi seseorang. Sejatinya perubahan hanya bisa dilakukan oleh sesuatu yang hidup. Meskipun waktu bisa berjalan namun tidak ditugaskan untuk melakukan perubahan. Jangan menyerahkan nasib kepada waktu. Jangan berharap waktu akan menyembuhkan segalanya. Jangan menunggu waktu sebab waktu tak pernah menunggu siapapun. Waktu tak punya kompetensi untuk menyelesaikan masalah manusia, apalagi sebagai obat penyembuh luka. Waktu hanya bisa berlalu begitu saja dan menjadi saksi bisu pada perubahan yang selalu ada. Itulah mengapa masih banyak luka yang tak sembuh seiring berjalannya waktu. Begitupun kondisi yang tak kunjung berubah, padahal waktu telah berjalan dalam hitungan ribuan detik. Boleh jadi, luka-luka kita di masa lalu disebabkan

Coping Stress dengan Menonton Film, Why Not?

                                                                     Ilustrasi menonton film (www.freepik.com) Mungkin terdengar sedikit aneh. Kenapa menonton film dapat menjadi salah satu upaya penanggulangan stres (coping stress). Baiklah, saya coba untuk mengulas sedikit tentang ini. Stres banyak diartikan sebagai suatu kondisi seseorang yang tidak menyenangkan dan menyebabkan terjadinya tekanan fisik maupun psikologis pada orang tersebut. Kondisi yang dirasakan tentu tidak menyenangkan, karena ada perubahan dan tuntutan kehidupan dimana tuntutan tersebut dianggap sebagai beban yang melebihi kemampuan baik secara mental, fisik, emosional maupun spiritual. Sumber stres dapat berasal dari diri sendiri, keluarga maupun komunitas atau lingkungan. Reaksi stres yang dialami oleh seseorang dapat dibagi menjadi beberapa kategori, seperti yang ditunjukkan di bawah ini: a. Gejala fisiologis; seperti sakit kepala, sembelit, diare, sakit punggung, leher tegang, tekanan darah tinggi, kelelahan,

Mengapa Harus Pura-Pura Bahagia

Berpura-pura kerap kali dimaknai dengan sesuatu yang tidak baik. Tapi terkadang dari persepsi yang lain, berpura-pura dianggap menimbulkan tindakan yang positif, seakan memang sangat diperlukan. Betulkah demikian? Yuk kita bahas. "Am I okay?" Hehehe. Belum tentu yang kita lihat di luar adalah benar-benar cerminan apa yang di dalam. Terkadang manusia pura-pura merasa bahagia karna tidak ingin terlihat lemah karna yang orang lain tahu bahwa kita ini kuat. Kapan terakhir kali kita merasa bahagia? Yaa benar-benar bahagia, bukan kita yang harus merasa bahagia...Cukup lama mungkin jawabannya. Menurut pakar Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Margaretha Rehulina, kondisi berpura-pura bahagia ini populer dinamakan Duck syndrome . Menampilkan diri seperti bebek (duck),  di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Orang yang berpura-pura bahagia berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perju