Langsung ke konten utama

Sikap Toksik Orang Tua yang Dapat Merusak Mental Anak

www.freepik.com

 

Madrasah utama seorang anak adalah orang tua, khususnya mendidik anak yang sesuai dengan tuntunan Islam yang memiliki akhlak seperti ajaran Rasulullah SAW. Banyak cara yang bisa dilakukan orang tua dalam mendidik anak, tapi jangan sampai menempuh jalan kekerasan. Baik itu kekerasan fisik maupun verbal. Ibnu Khaldun (1332-1406 M), seorang ilmuwan sosial Islam yang terkenal dengan karyanya berjudul Muqaddimah menyebut secara lugas bahwa pendidikan dengan jalan kekerasan membawa mudharat terutama bagi anak-anak yang kejiwaannya sedang dalam masa pertumbuhan.

Sikap orang tua yang cenderung menjadi toksik (racun) bagi anak dapat dikenali melalui perbuatan dan ucapan terhadap anaknya, misalnya serba melindungi, mengatur, mengkritik berlebihan, mengabaikan, menentang, memerintah, memarahi, mengharuskan anaknya untuk menurut, tidak membiarkan anak memenuhi kebutuhan sendiri, sehingga akan menjadikan anak selalu tergantung terhadap orang tuanya, tidak mandiri, mudah stres, self-esteem yang rendah dan sering mengalami gangguan kecemasan. Penerapan pola pengasuhan tersebut jika dilakukan secara terus menerus bahkan berlebihan akan berdampak buruk pada perilaku anak dan termasuk pola asuh yang tidak sehat.

Berkaca dari banyak pengalaman di ruang konseling anak dan remaja, beberapa sikap toksik orang tua yang beresiko merusak mental anak-anak antara lain :

1. Membanding-bandingkan

Kesalahan orang tua yang paling sering dilakukan adalah membanding- bandingkan anaknya.

“Tuh si A udah bisa baca, kok kamu belum bisa baca sih”

“Lihat deh, kakak kamu aja ranking satu terus lho, masa kamu ranking terakhir, malu dong!”

Sebagai orang tua pastinya kita berharap bahwa dengan mengatakan hal tersebut, anak mampu termotivasi atau anak akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Namun kenyataannya, hal ini justru akan mengurangi rasa percaya diri anak-anak kita.

Seberapa keras orang tua memaksa, hasilnya tak akan menjadi lebih baik. Mereka akan selalu membandingkan saudara satu dengan yang lain dan hal tersebut akan memicu hubungan yang tidak sehat diantara mereka, diantara kakak adik, diantara saudara satu dan saudara lainnya. Bukan rasa kompetisi untuk maju malah tumbuh rasa iri dan benci terhadap satu sama lain.

Padahal sebagai orang tua harusnya mampu menciptakan anak-anaknya merasa dicintai secara adil dan juga diberikan hak untuk mejadi diri mereka sendiri.

2. Kata-kata atau ucapan yang menyakitkan

Coba kita ingat-ingat, seberapa sering kita mengatakan hal ini kepada anak.

“Sudah, kamu nggak usah ikut lomba nanti kalah malah nangis lho! Kamu nggak bakal juara”

“Sudah, kamu kan tuh orangnya gampang capek, nggak usah deh ikut-ikut les sepakbola!”

“Sudah deh nggak usah belajar terus, percuma, emang dasarnya kamu nggak pintar”

Mengatakan hal-hal negatif dan menyakitkan semacam ini, hanya akan merusak kepercayaan diri seorang anak dan merusak mental mereka. Sebagai orang tua, harusnya kita selalu memberikan support, dorongan yang terbaik, memberikan mereka kesempatan, kepercayaan sehingga anak mampu mempercayai diri mereka sendiri. Selain itu, anak pun mampu menghargai proses dan berhasil mencapai apa yang dia inginkan.

3. Kalimat yang tidak menginginkan mereka

Mungkin secara tidak sadar, kita pernah mengatakan :

“Kenapa sih kamu lahir jadi laki-laki, ibu kan maunya anak perempuan”

“Ah lebih baik nggak punya anak saja, daripada punya anak seperti kamu!”

“Gara-gara kamu tuh ya, ibu jadi berhenti kerja!”

Jangankan anak, orang dewasa saja bila mendengar kalimat seperti itu, pasti sedih rasanya. Sebagai orang tua tidak seharusnya mengatakan hal-hal seperti itu pada anak yang mengakibatkan ia merasa tidak diinginkan, merasa tidak layak untuk hidup di dunia ini, merasa tersingkirkan bahkan kehilangan identitas diri. Pada akhirnya, anak merasa depresi, menyendiri dan menyakiti diri sendiri.

Ingat! Seorang anak tidak akan pernah dapat memilih dengan siapa dia dilahirkan. Namun sebagai orang tua, sudah seharusnyalah kita selalu melakukan yang terbaik dan membuat ia merasa dicintai, dihargai dan kehadirannya di dunia ini, sungguh-sungguh punya arti.

4. Sindiran fisik

Pernahkah kita sebagai orang tua mengatakan pada anak :

“Dek, kamu kok hitam banget sih mirip ayah”

“Eh si Kakak kok gendut banget sih! Beda dengan adik kamu”

Mungkin hal tersebut terkesan hanya sebuah candaan dan anak terlihat senang-senang saja. Padahal secara tidak sadar, bila hal tersebut terus-menerus diucapkan serta terus menerus didengar oleh anak, pasti mereka juga akan merasa direndahkan secara fisik dan tak jarang anak-anak akhirnya menjadi minder, sehingga sering anak tersebut mengalami rasa ketidakpercayaan diri yang sangat rendah. Bahkan riskan mengalami gangguan emosional yang cukup serius, seperti gangguan makan atau melakukan segala macam cara untuk dapat mengubah fisik menjadi lebih sempurna supaya anak mendapatkan pujian dari orang tuanya. Padahal sekali lagi, sebagai orang tua, sudah seharusnya kita mengajarkan anak-anak kita untuk lebih percaya diri, lebih mencintai diri sendiri tanpa harus mempedulikan keharusan penilaian fisik atau terlalu memusingkan perkataan orang.

 

5. Sindiran perilaku

“Kamu kenapa ya, kok jalannya seperti robot begitu, jalan yang benar dong!”

“Kamu ini nulis atau ngukir sih, kok lama banget selesainya”

“Aduh, kok kamu aneh banget jadi anak!”

Setiap orang tua tentu menginginkan anak mereka melakukan segala sesuatu dengan benar sesuai pemikiran. Namun tanpa sadar, seringkali pernyataan atau pertanyaan sarkastik seperti di atas, justru membuat anak semakin tersudut dan merasa bahwa ada sesuatu yang salah dari perbuatan mereka.

Hal ini mampu berdampak, bukan hanya saat anak saat ini bahkan remaja atau mereka kelak dewasa nanti. Anak-anak cenderung akan sulit menjadi diri mereka sendiri. Mereka akan selalu merasa tidak nyaman atau takut menjadi perhatian banyak orang karena menganggap orang lain di sekitar mereka akan menertawai atau memperhatikan semua kekurangan yang dimiliki si anak.

Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Ya karena dari kecil mungkin sudah selalu diberikan sindiran atau pernyataan yang sarkastik tentang perilaku anak seperti yang sudah dicontohkan.

6. Anak sebagai beban orang tua

Banyak dari orang tua yang seringkali mengucapkan :

“Tahu nggak bapak itu capek kerja biar kamu bisa sekolah!”

“Kamu itu ya menghabiskan banyak uang!”

“Susah banget sih ngurusin kamu!”

“Ibu tuh capek banget, tahu nggak! Ngurusin anak seperti kamu”

Nah kalimat-kalimat seperti itu, seringkali terucap yang secara tidak sadar kalimat-kalimat tersebut mampu membuat anak merasa menjadi beban bagi orang tuanya. Sehingga banyak anak akhirnya berubah menjadi pendiam dan tak mudah menceritakan permasalahannya.

Mengapa demikian? Karena anak tersebut ingin menghindari kemarahan atau tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Jadi daripada sharing (berbagi) atau diceritakan, anak lebih memilih diam. Akibatnya, anak yang sedari kecil tidak terbiasa untuk mengkomunikasikan apa yang ada di pikiran atau perasaan kepada orang tua bahkan dipendam sendiri, maka akan mengakibatkan depresi atau hal-hal yang tidak diinginkan pada kemudian hari.

7. Mengancam untuk ditelantarkan

Nah biasanya ketika orang tua sedang lelah, sedang capek, tanpa sadar mereka mengatakan :

“Awas ya, kalau kamu nangis lagi, ayah taruh kamu di penitipan anak saja!”

“Ya sudah, kalau kamu tak mau mendengar, ayah tinggalkan kamu di sini!”

“Kalau kamu tidak mengerjakan PR, ya sudah kamu tidak boleh main diluar lagi!” Dan seterusnya.

Tentu hal-hal semacam ini terdengar sangat kejam dan orang tua sering menganggap bahwa anak dapat dibuat jera dengan kalimat-kalimat diatas. Mungkin tujuan awal adalah membuat anak-anak merasa jera dan tidak mengulangi kesalahan.

Namun di sisi lain, perkataan-perkataan tersebut malah membuat anak semakin merasa trauma dan selalu dibayang-bayangi oleh rasa takut. Takut ditelantarkan, takut ditinggal karena perbuatan mereka. Belief (keyakinan), pemikiran seperti ini akan terus tertanam dalam diri anak secara tidak sadar sejak anak masih kecil hingga nanti ketika remaja dan dewasa. Anak akan merasa sulit mempercayai hubungan di masa depan dan hidup dengan ketakutan ditinggal oleh orang-orang yang dicintai.

8. Memberikan janji yang tidak bisa dipenuhi

Pernahkah orang tua mengatakan :

“Iya Ayah janji akan merayakan ulang tahun kamu asalkan kamu berhasil dapat nilai 100”

“Oke, kalau kamu bisa ranking satu, ayah ibu akan beli mainan kesukaanmu”

“Kalau kamu tidak bandel, kita akan jalan-jalan ke mall dan beli mainan sesukamu”

Namun, disaat waktunya tiba, disaat anak mampu mewujudkan keinginan orang tuanya, malah orang tua ini pura-pura lupa atau sengaja untuk tidak menepati janji mereka. Alasannya, hanya untuk menyemangati anak saja. Mungkin terdengar sepele, tapi anak merasa sungguh dikhianati. Maka berhati-hatilah para orang tua dalam berjanji.

Bukankah orang tua pun tidak akan suka bila dikhianati. Anak yang sudah terbiasa dibohongi atau dikhianati seperti ini maka akan hilang rasa kepercayaan pada orang tua bahkan orang lain dalam kehidupannya. Bukan hanya itu, anak pun akan belajar menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dengan apa yang dia katakan karena mengikuti perilaku orang tuanya. Kemudian hal ini dianggap biasa, dianggap lumrah, jadi tak ada salahnya hanya membuat janji. Sesuatu yang sangat sepele berdampak sangat fatal di kemudian hari. Jangan hanya senang membuat janji namun buatlah janji di saat kita sebagai orang tua benar-benar sanggup menepatinya.

Demikianlah delapan sikap orang tua yang dapat menjadi toksik dan merusak masa depan anak. Pengingat ini tentu tidak hanya berlaku bagi orang tua tapi juga semua pengajar dan pendidik agar tidak mengatakan hal-hal yang menyakiti perasaan anak-anak apalagi merusak mental mereka nantinya. Masa anak-anak adalah fase terpenting dalam kehidupan seorang manusia. Di masa inilah terjadi pembentukan sifat, pembentukan karakter dan pembentukan perilaku. Sekecil apapun perlakuan orang tua/pengajar/pendidik yang kurang tepat pada anak, akan dapat sangat berdampak pada kesehatan emosi dan jiwanya.

Tanamkan hal yang baik maka pasti hasilnya pun akan berbuah baik. Cinta dan kasih sayang orang tua dan anak mampu menumbuhkan rasa saling menghormati dan saling bekerja sama, bahu-membahu dalam menyelesaikan setiap masalah yang datang menghadang perjalanan kehidupan mereka. Hal ini sangat berperan dalam menciptakan keseimbangan mental anak.

Apabila seorang anak melakukan amal shalih dari hasil pendidikan ayah dan ibunya. Maka sang orang tua akan mendapat balasan pahala meskipun mereka telah wafat. Jadi prioritaskan pendidikan anak untuk tumbuh dalam ketaatan Allah dan Rasul-Nya, jangan hanya fokus pada prestasi dunia saja.

 

  

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Harus Pura-Pura Bahagia

Berpura-pura kerap kali dimaknai dengan sesuatu yang tidak baik. Tapi terkadang dari persepsi yang lain, berpura-pura dianggap menimbulkan tindakan yang positif, seakan memang sangat diperlukan. Betulkah demikian? Yuk kita bahas. "Am I okay?" Hehehe. Belum tentu yang kita lihat di luar adalah benar-benar cerminan apa yang di dalam. Terkadang manusia pura-pura merasa bahagia karna tidak ingin terlihat lemah karna yang orang lain tahu bahwa kita ini kuat. Kapan terakhir kali kita merasa bahagia? Yaa benar-benar bahagia, bukan kita yang harus merasa bahagia...Cukup lama mungkin jawabannya. Menurut pakar Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Margaretha Rehulina, kondisi berpura-pura bahagia ini populer dinamakan Duck syndrome . Menampilkan diri seperti bebek (duck),  di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Orang yang berpura-pura bahagia berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perju

Sekolah Kehidupan

  Logo SKH "Ah, apa iya kehidupan itu ada sekolahnya?" Sebuah pertanyaan yang sempat terlintas dalam benakku... Kalau browsing internet tentang sekolah kehidupan pasti yang akan muncul adalah platform pembelajaran soft skill secara online berbasis aplikasi audio-based learning yang dapat diunduh secara gratis atau berbayar. Namun bukan itu yang akan ku ceritakan disini... Sekolah kehidupan yang ku maksud adalah sebuah komunitas pembelajar yang concern menerapkan tujuh ilmu penjernih hati dalam kehidupan sehari-hari. Apa saja ilmu penjernih hati atau disingkat 7IPH tersebut? Yaitu ikhlas, sabar, shalat yang khusyu', dzikir, syukur, tawakal dan berprasangka baik (waspada).  Tujuh Ilmu Penjernih Hati merupakan sarana mendekat kepada Allah SWT sekaligus membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati yang sering kita alami. Materi-materi yang terkandung didalamnya berkaitan sangat erat dengan hubungan antar sesama manusia ( hablum minannaas)  dan hubungan manusia dengan Sa

Negeri Ini Hampir Kehilangan Ayah

"Dunia AYAH saat ini tidak lebih dari sebuah kotak. Yaaa, kotak handphone, televisi dan laptop atau komputer. Miris!" Semua pengajar anak di usia dini mayoritas diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap  fatherless country . Banyak ayahdi luar sana yang malu mengasuh anak apalagi jika masih bayi. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini.  Dimana AYAH sang pengajar utama? Dear para ayah, Anak laki-lakimu belajar bagaimana menjadi laki-laki dewasa dari sikapmu dalam keseharian. Anak perempuanmu belajar membangun pemaknaan tentang definisi laki-laki dewasa itu seperti apa dari hasil pengamatannya pada dirimu. Seorang ayah boleh dan harus bersikap tegas namun bukan kasar. Terkadang sikap lembutmu juga sangat dibutuhkan namun bukan menandakan kalau dirimu lemah. Kalau anak laki-laki tidak dekat dengan ibunya, kelak dia dewasa mungkin susah memahami perempuan. Sedangkan anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya, kelak dewasa dia akan me