Langsung ke konten utama

Kultur Ramadan Di Kota Solo, Kini dan Dulu


Bubur Legendaris (surakarta.go.id)

MARHABAN YAA RAMADAN💕

Bulan Ramadan selalu menjadi bulan yang selalu ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Begitu banyak kegiatan positif yang dapat dilakukan di bulan penuh kebaikan ini tentu menambah semarak dan kekhusyukan dalam menapaki hari demi hari hingga menuju hari kemenangan. 

Selain kegiatan keagamaan yang menghiasi bulan suci ini, salah satu yang paling ditunggu-tunggu yaitu kuliner khas Ramadan. Di Kota Solo, ada satu sajian kuliner yang sangat menarik karena hanya bisa ditemukan saat Ramadan tiba dan hanya bisa ditemukan di Masjid Darussalam, Jayengan, Serengan, Solo, Jawa Tengah. Sajian ini dikenal dengan sebutan "bubur samin".

Bubur dengan cita rasa gurih yang terbuat dari beras, daging sapi, susu, rempah, dan santan ini menjadi makin istimewa karena diolah dengan resep khusus yaitu minyak samin dengan ciri khas warna kekuningan. Dibagikan secara gratis oleh takmir Masjid Darussalam, pembuatan bubur ini dimulai sejak pagi dengan meracik bumbu-bumbu yang digunakan dan mulai diolah oleh juru masak andalan masjid sekitar pukul 11.30 WIB hingga 15.00 WIB. 

Biasanya dalam sehari, bubur ini membutuhkan sekitar 45-50 kg beras untuk 1.000 porsi. Karena kelezatan yang ditawarkan dan nuansa khas yang disajikan, bubur ini banyak diburu oleh masyarakat. Tak hanya dari Kota Solo saja, warga Soloraya seperti Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, hingga Klaten juga banyak yang berbondong-bondong pergi ke Kota Solo untuk menemukan bubur ini sebagai menu ifthar (berbuka puasa). 

Biasanya setiap menjelang asar sekitar pukul 16.00 WIB hingga adzan maghrib berkumandang, warga mulai berdatangan membawa tempat makan sendiri dan mulai memenuhi area masjid untuk mengantri,  sembari mendengarkan alunan shalawat atau nada-nada islami dari toa masjid Darussalam.

Dibalik keberadaan bubur legendaris ini sebenarnya bukanlah makanan khas kota Solo. Namun jauh adanya, bubur ini adalah kuliner yang berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang merupakan makanan sehari-hari dan mudah ditemukan, tak harus menunggu saat Ramadan tiba. 

Hal ini karena di Banjarmasin, setiap harinya pasti ada penjual yang menjajakan bubur ini sehingga bubur samin juga dikenal dengan bubur banjar. Namun berbeda ketika di Kota Solo, bubur ini tidak akan semudah itu ditemukan karena ada sejarah dibalik kehadirannya di kota ini.

Dahulu sekitar tahun 1907 banyak saudagar dan pengrajin batu mulia serta pendatang dari Martapura yang merantau ke Kota Solo. Mereka kemudian mendirikan langgar atau musala di Jayengan dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Di situlah perantau Martapura ini kemudian terus berkembang. 

Hingga akhirnya pada tahun 1930-an, langgar atau musala yang sekian lama telah berdiri dan digunakan untuk berbagai aktivitas keagamaan kemudian dibangun kembali menjadi sebuah masjid dengan dinding tembok. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama Masjid Darussalam seperti saat ini. 

Sejak dulu, selain digunakan sebagai tempat ibadah dan menjalankan aktivitas keagamaan, masjid ini juga digunakan sebagai tempat pertemuan para saudagar di kota Solo. Ketika mereka berkumpul dan bersilaturahmi, terutama saat bulan Ramadan, bubur samin ini selalu dihidangkan sebagai kudapan berbuka puasa. Berawal dari sebuah kebiasaan, bubur samin ini kemudian berubah menjadi tradisi yang terus dilestarikan sejak sekitar tahun 1960-an hingga sekarang.

Kebiasaan yang dibawa oleh perantau inilah yang akhirnya menjadi bagian dari daya tarik dan kuliner khas Ramadan di kota Solo khususnya saat bulan puasa. Setelah dua tahun vakum akibat pandemi covid-19, tahun ini masjid Darussalam kembali mengadakan pembagian bubur samin sejalan dengan kelonggaran yang telah diberlakukan Pemerintah pada bulan Ramadan tahun 2023 ini. Namun melihat antusiasme masyarakat yang selalu tinggi, protokol kesehatan yang ketat haruslah diterapkan agar tidak terjadi transmisi lokal ataupun kluster baru di lokasi tersebut. 

Dalam rangka menghindari kerumunan dalam pembagian takjil bubur samin, untuk tahun ini pembagian akan dibagi menjadi dua tahapan sehingga jumlah porsinya pun dibuat lebih banyak daripada bulan Ramadan biasanya yaitu sebanyak 1.300 porsi. Pertama, sekitar 300 porsi akan disantap untuk buka bersama di Masjid Darussalam. Kedua, 1000 porsi lainnya akan dibagikan kepada masyarakat atau jamaah yang telah datang mengantri. 

Pembagian bubur ini dilakukan setiap hari selama bulan Ramadan dan dapat dinikmati secara gratis sebagai hidangan merakyat dengan cita rasa yang otentik. Penasaran dengan bubur samin ini? Segera merapat ke Masjid Darussalam dan rasakan nikmatnya makanan khas Banjar, kudapan favorit-nya wong Solo.😍


Dhul, tradisi ramadan yang telah hilang (surakarta.go.id)

Nah, sekarang kita bergeser sedikit ke tradisi bulan puasa di Kota Solo yang telah lama hilang. Jadi, beberapa tahun yang lampau pernah ada sebuah tradisi sebagai penanda waktu berbuka puasa selama bulan Ramadan. Tradisi itu dinamakan dhul yang berarti pengingat waktu berbuka puasa dalam istilah masyarakat Solo. 

Tradisi menyalakan petasan dhul terkenal pada tahun 1980-an. Dhul sendiri adalah petasan yang dinyalakan dari bawah kemudian melesat dan meledak di ketinggian puluhan meter di udara. Bunyi ledakannya menggelegar dan terdengar hingga beberapa kilometer.

Untuk menghidupkan petasan dhul dibutuhkan bumbung atau semacam meriam kecil sebagai landasan lontar ke udara. Kemudian sumbu dhul tersebut disulut dengan api. Dalam sekejap, petasan tersebut pun melesat ke udara dan menghasilkan suara ledakan yang sangat keras. Suara ledakan inilah yang digunakan untuk menyeragamkan waktu berbuka di Kota Solo. 

Dulu, tradisi ini dapat kita jumpai di Masjid Agung Keraton Solo dan Masjid Tegalsari yang berada di pusat kota Solo. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini dihentikan karena dianggap berbahaya. Kini tradisi dhul telah digantikan oleh bunyi sirene yang dikeraskan melalui mikrofon masjid. Meski tradisi ini telah hilang namun istilah dhul tetap digunakan dan dilestarikan.                                                                                    

Sirine Sriwedari, penanda berbuka puasa ramadan (surakarta.go.id)

Inilah penampakan pengganti Dhul, penanda waktu berbuka puasa Ramadan. Yaitu dengan membunyikan sirine yang terletak di Kompleks Sriwedari, tepatnya di belakang Gedung Wayang Orang. Sirine yang sudah ada sejak zaman Belanda tersebut pasalnya sudah tidak dioperasikan kembali sejak dua tahun lalu. Berada di kawasan yang sama, sirine ini berdiri didekat Masjid Al Hidayah. Namun sayang, sirine Sriwedari ini terakhir dioperasikan pada tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19. 

Masjid Al Hidayah yang merupakan masjid umum dan jamaahnya berasal dari masyarakat luas tidak hanya Solo. Sehingga keberadaan sirine Sriwedari sangat membantu pendatang untuk mengetahui waktu berbuka puasa di Solo. Tentu dengan diaktifkannya sirine ini kembali akan lebih bermanfaat.

Sirine Sriwedari sangatlah keras hingga dapat didengar sampai jarak 3 hingga 5 kilometer. Dengan bunyi yang melengking tinggi diawal dalam beberapa menit lalu suaranya akan menurun secara berkala. Hanya dibunyikan satu kali jelang berbuka puasa, kalau dahulu sirine Sriwedari ini juga menjadi kenangan masa kecil yang membuat orang-orang pada masa itu teringat dengan ciri khas lampu sorot (bahasa setempat :sokle) yang ada pada sirine. MasyaAllah💥

Selain itu ada juga pasar malam sebulan penuh, yang sangat meriah. Semua pertunjukan seni, hiburan, aneka kuliner makanan serta mainan semuanya ada di Sriwedari. Bagi wong Solo dan sekitarnya, tak lengkap menyambut Lebaran tanpa ke Maleman Sriwedari. Lampu sorot itulah yang dahulu menjadi tanda kalau di ada Maleman dan dapat dinikmati dari semua penjuru kota.

Namun kini, zaman telah berubah, Sriwedari pun mengalami perubahan drastis. Disebut sebagai Kebun Raja, Kompleks Sriwedari pada era Sinuhun Paku Buwono X bertahta merupakan taman hiburan dan kebun binatang yang banyak dikunjungi wisatawan hingga tahun 1980-an kebun binatang dipindah ke Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ).  Saat ini acuan untuk berbuka puasa mengacu pada jadwal waktu ibadah Ramadan yang ada.

Sementara itu, ditempat  yang lain yakni di Masjid Agung Surakarta juga terdapat sirine yang dibunyikan sebagai pertanda berbuka puasa. Suara sirine tersebut dinyalakan melalui menara yang ada di Masjid Agung Keraton Surakarta. Menggunakan 8 pengeras suara yang terpasang di menara tersebut, Alif menuturkan awal pengoperasian sirine sekitar 10 tahun lebih. Dibunyikan secara berasamaan dengan bedug, suara nyaring sirine dapat terdengar sampai ke wilayah yang lumayan jauh.

Demikianlah beberapa tradisi unik selama bulan puasa di kota Solo yang masih ada dan sudah sirna. Tentu dapat menambah wawasan para pembaca yaa... Salam Literasi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Harus Pura-Pura Bahagia

Berpura-pura kerap kali dimaknai dengan sesuatu yang tidak baik. Tapi terkadang dari persepsi yang lain, berpura-pura dianggap menimbulkan tindakan yang positif, seakan memang sangat diperlukan. Betulkah demikian? Yuk kita bahas. "Am I okay?" Hehehe. Belum tentu yang kita lihat di luar adalah benar-benar cerminan apa yang di dalam. Terkadang manusia pura-pura merasa bahagia karna tidak ingin terlihat lemah karna yang orang lain tahu bahwa kita ini kuat. Kapan terakhir kali kita merasa bahagia? Yaa benar-benar bahagia, bukan kita yang harus merasa bahagia...Cukup lama mungkin jawabannya. Menurut pakar Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Margaretha Rehulina, kondisi berpura-pura bahagia ini populer dinamakan Duck syndrome . Menampilkan diri seperti bebek (duck),  di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Orang yang berpura-pura bahagia berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perju

Sekolah Kehidupan

  Logo SKH "Ah, apa iya kehidupan itu ada sekolahnya?" Sebuah pertanyaan yang sempat terlintas dalam benakku... Kalau browsing internet tentang sekolah kehidupan pasti yang akan muncul adalah platform pembelajaran soft skill secara online berbasis aplikasi audio-based learning yang dapat diunduh secara gratis atau berbayar. Namun bukan itu yang akan ku ceritakan disini... Sekolah kehidupan yang ku maksud adalah sebuah komunitas pembelajar yang concern menerapkan tujuh ilmu penjernih hati dalam kehidupan sehari-hari. Apa saja ilmu penjernih hati atau disingkat 7IPH tersebut? Yaitu ikhlas, sabar, shalat yang khusyu', dzikir, syukur, tawakal dan berprasangka baik (waspada).  Tujuh Ilmu Penjernih Hati merupakan sarana mendekat kepada Allah SWT sekaligus membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati yang sering kita alami. Materi-materi yang terkandung didalamnya berkaitan sangat erat dengan hubungan antar sesama manusia ( hablum minannaas)  dan hubungan manusia dengan Sa

Negeri Ini Hampir Kehilangan Ayah

"Dunia AYAH saat ini tidak lebih dari sebuah kotak. Yaaa, kotak handphone, televisi dan laptop atau komputer. Miris!" Semua pengajar anak di usia dini mayoritas diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap  fatherless country . Banyak ayahdi luar sana yang malu mengasuh anak apalagi jika masih bayi. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini.  Dimana AYAH sang pengajar utama? Dear para ayah, Anak laki-lakimu belajar bagaimana menjadi laki-laki dewasa dari sikapmu dalam keseharian. Anak perempuanmu belajar membangun pemaknaan tentang definisi laki-laki dewasa itu seperti apa dari hasil pengamatannya pada dirimu. Seorang ayah boleh dan harus bersikap tegas namun bukan kasar. Terkadang sikap lembutmu juga sangat dibutuhkan namun bukan menandakan kalau dirimu lemah. Kalau anak laki-laki tidak dekat dengan ibunya, kelak dia dewasa mungkin susah memahami perempuan. Sedangkan anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya, kelak dewasa dia akan me