Dear teman, π¦
Mungkin kita pernah mendengar atau bahkan sering mendengar tentang kisah anak yang menelantarkan orang tua kandungnya. Kehadiran orang tua yang sudah jompo misalnya, dianggap sungguh merepotkan, menyita banyak waktu dan biaya. Menemani sisa masa hidup orang tua bukanlah menjadi prioritas atau sumber kebahagiaan seorang anak. Na'udzubillahi min dzaalik.....
Hal apa biasanya yang membuat seseorang sulit berbahagia?
Jawaban dari pertanyaan ini bisa beragam.
Namun, yang paling sering menjadi penyebabnya adalah adanya perasaan negatif yang ada dalam diri seseorang diakibatkan peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik di masa lalu maupun masa kini. Tak jarang, perasaan negatif yang dibiarkan ini menjadikan seseorang merasakan stres sehingga berdampak buruk pada kehidupannya.
Teman-teman yang baik, kita lakukan refleksi sebentar, yuk.
π«Adakah dahulu ketika masa kecil memiliki luka pengasuhan dan sekarang merasa begitu berjarak dengan orang tua yang sebenarnya sangat kita kasihi?
π«Adakah kejadian-kejadian di masa kini ketika menjalani peran orang tua banyak berbuat refleks dan spontan menyakiti anak? Perbuatan menyakitkan yang mengingatkan pada kejadian yang dialami di masa pengasuhan.
π«Adakah sosok anak kecil dalam diri yang merasa terus diabaikan dan begitu haus kasih sayang, lalu bertingkah insecure dengan cemburu berlebihan pada pasangan ataupun mengalami trust issue?
Mengapa, ya, bisa begitu?
Dilansir dari Psychology Today (2015): "When Your Inner Child Hijacks Your Adult Relationship" memaparkan bahwa inner child menyakitkan akan membajak keharmonisan pernikahan. Sosok pasangan yang memiliki inner child akan bertingkah childish (kekanak-kanakkan). Terlebih ketika dihadapkan pada suatu tekanan maka ia akan mengambil cara yang dahulu ia lakukan pada saat kecil.
Cara yang disfungsional dan merusak suatu hubungan pernikahan: apakah menjelma menjadi sosok yang tantrum, sosok manipulatif (dominan dan memperdaya) atau sosok good soldier (lemah dan tidak berdaya).
Membasuh luka pengasuhan adalah sebuah langkah nyata mewujudkan kasih sayang kepada anak juga generasi masa depan dengan memutus benar-benar lingkaran setan rantai luka pengasuhan.
Dikutip dari buku Membasuh Luka Pengasuhan, karya psikolog Diah Mahmudah dan Dandi Birdy (2020),
Luka pengasuhan adalah luka batin yang dialami seseorang yang disebabkan oleh kekeliruan pola asuh orang tua di masa pengasuhan.
Lantas muncul pertanyaan, apakah ini sama dengan inner child?
Perlu kita ketahui bahwa Inner child adalah pengalaman masa lalu yang tidak atau belum mendapatkan penyelesaian yang baik. Orang dewasa bisa memiliki berbagai macam kondisi inner child yang dihasilkan oleh pengalaman positif dan negatif yang dialami di masa lalu. (John Bradshaw, 1990).
Jadi, yang disebut inner child ini tidak hanya pengalaman negatif saja, tetapi juga termasuk pengalaman positif.
Namun, pengalaman positif biasanya tidak bermasalah karena berhubungan dengan sesuatu yang menyenangkan sehingga dampaknya pun lebih positif, tetapi yang sering menjadi masalah adalah pengalaman negatif yang membekas hingga dewasa sehingga menimbulkan dampak negatif bagi orang-orang tercinta.
Sejalan dengan hal tersebut, maka kepribadian kita sebetulnya dipengaruhi oleh masa lalu, masa kini dan berdampak ke masa depan...terutama ke anak-anak kita.
Terkadang kita tidak mau membasuh luka pengasuhan tersebut karena ada beberapa paradigma yang keliru atau kurang tepat...
Apa sajakah paradigma yang keliru tersebut?
π«Kita terkadang khawatir, seakan-akan kita akan mengadili sosok personal orang tua kita, padahal yang kita proses adalah luka dan efeknya sehingga kita sekaligus tidak akan mengulangi proses yang sama...yang bisa jadi kita lakukan pada anak-anak kita.
π«Membasuh luka pengasuhan itu juga bukan menyalahkan, tapi tanggung jawab kita pribadi untuk menjadikan diri kita sehat lahir dan batin
π« Membasuh luka pengasuhan itu bukan menghakimi tapi memaafkan dengan setulus-tulusnya.
π«Membasuh luka pengasuhan juga bukan mengorek masa, namun membersihkan berbagai penyakit hati, bagian adalah yang terberat sekaligus bagian penting dalam membersihkan jiwa.
Sehingga akhirnya, kita akan menjadi anak yang berbakti sekaligus, orangtua yang baik dalam mendidik anak-anak bersama pasangan kita.
Proses MLP (Membasuh Luka Pengasuhan), memang tidak bisa instan, tiap orang memiliki masa yang berbeda-beda dalam melakukan proses tersebut. Sehingga memang hal ini membutuhkan kesabaran.
Tidak perlu melihat kepada orang lain...., kok orang lain bisa begini atau begitu ketika berproses MLP. Fokus pada diri sendiri saja, bahwa kita ingin luka kita terbasuh, sehingga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan positif.
Istilahnya, kita bisa lebih enteng ketika ada peristiwa yang memicu ingatan kita akan luka di masa lalu.
Selain itu, meskipun kita memiliki pengasuhan atau cinta yang kurang baik dibandingkan orang lain, tetapi cinta dan kasih sayang dari orang tua tetaplah tidak dapat tergantikan. Sehingga kita tetap harus memproses luka tersebut
By the way, kita mungkin lebih akrab dengan istilah atau peristiwa anak durhaka pada orang tua. Padahal orang tua pun bisa durhaka pada anaknya. Seperti kisah pada masa sahabat Rasulullah, Umar Bin Khattab RA, beliau pernah menegur orang tua yang mengadukan anaknya yang durhaka.
Umar berkata pada orang tua tersebut, "Kau mengadu tentang kenakalan anakmu, sementara kau sendiri sudah durhaka kepada anakmu, sebelum ia durhaka kepadamu. Kau sudah memperlakukan anakmu dengan buruk, sebelum anakmu berbuat buruk kepadamu."
So, tujuan membasuh luka pengasuhan sejatinya adalah agar kita bisa memaafkan orang tua dengan tulus dari hal-hal negatif yang pernah kita lalui dahulu, menghentikan efek merusak sebagai akibat pengalaman luka masa lalu kita yang terbawa hingga kini serta membersihkan hati dari penyakit hati, dari emosi-emosi negatif, sehingga hati kita bisa bersih kembali dan bercahaya.
Dengan harapan, kita mampu menghentikan lingkaran setan pengasuhan, dengan tidak membawanya ke keluarga kita yang sekarang
Oya teman, untuk membasuh luka pengasuhan harus melalui beberapa tahapan yaitu :
1. Mengakui
Mengakui bahwa kita memiliki masalah psikologis dengan orang tua. Hal ini memang berat karena kita akan berhadapan dengan luka lama yang mungkin menyakitkan. Mari kita berani mengakui rasa nyeri itu. It's ok not to be ok.
2. Menyadari.
Kita perlu menyadari tema luka pengasuhan apa yang kita alami, apakah unwanted child, bullying, sibling rivalry, parent way, anak terlantar di rumah mewah, dsb. Sebab dengan menyadari tema ini akan memudahkan kita untuk menentukan proses penyembuhan luka bagi kita selanjutnya.
3. Menerima
Tahap berikutnya adalah menerima semua perasaan tidak nyaman yang muncul akibat luka pengasuhan. Disini yang diakses adalah perilaku menyakitkan dari orang tua, bukan personal dari orang tua. Perilaku juga lisan yang masih terasa menyakitkan, membekas, masih mengganjal dan masih belum diterima dan mengganggu kita hingga saat ini.
4. Mengalirkan
Menguras dan mengalirkan ransel emosi negatif juga semua rasa nyeri dengan beberapa teknik psikoterapi.
5. Memutuskan memaafkan
Tahap akhir adalah melepaskan rasa nyeri, tolong dicamkan bahwa memaafkan adalah suatu kebutuhan untuk diri kita sendiri. Hal tersebut merupakan upaya menghentikan siklus mendzalimi diri sendiri. Apakah dengan memaafkan kita mampu lupa dengan peristiwa pahit itu?
Tentu akan masih ingat, namun emosi negatif yang ditimbulkannya sudah berkurang atau bahkan berangsur hilang.
Untuk diingat kembali bahwa memaafkan adalah tentang keputusan hati, yang didukung oleh akal juga lisan.
π¬ππ¬π
Saya pertama kali menyadari tentang luka pengasuhan setelah dikenalkan oleh seorang teman pada sebuah kegiatan mental health.
Dari pengalaman tersebut, ternyata belum banyak orang yang paham dan melek mengenai kesehatan mental, khususnya luka pengasuhan.
Padahal, sosok orang tua juga pernah menjadi anak kecil, tentu pernah memiliki inner child, yang juga berpengaruh pada kehidupannya di masa kini. Pengaruhnya pun akan memiliki dampak dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga.
Pointnya adalah Membasuh Luka Pengasuhan bukan lantas menjadi tugas seorang ibu, namun juga seorang ayah. Karena bagaimanapun, dalam membina rumah tangga, tidak semata seorang ibu yang harus sehat fisik dan mentalnya, tetapi juga sosok ayah juga harus sehat, agar keduanya bahagia bersama.
Apalagi ayah memiliki peran dalam menentukan arah dan tujuan hidup, yang menjaga koridor-koridor keimanan. Sebagaimana dicontohkan oleh Luqman (kisah dalam Al-Qur'an) yang senantiasa memberikan nasihat dan contoh kepada anaknya agar senantiasa beriman kepada Allah SWT.
Semoga kita mampu meneladani kisah Luqman untuk menerapkan pendidikan terbaik bagi anak-anak biologis maupun ideologis kita. Mari teman-teman, kita mulai membasuh luka pengasuhan yang ada pada diri kita yang mungkin saja telah berdampak pada kehidupan kita di masa kini.
Salam MLPπ
mashaa Allah, thanks banget ya mbak udah ngeshare tulisan ini. q sedih bacanya mbak, karena hal ini juga dialami murid q dan dia ngalamin ini. dendam dengan orang tua katanya, tapi gak semudah kita memberi nasihat ya, harus benar-benar membuka hati dan memaafkan dengan tulus atas kesalahan orangtuanya dulu.
BalasHapus