Langsung ke konten utama

BUYA HAMKA, pejuang yang teguh dan berhati lembut

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

Hayo, siapa yang belum nonton film paling viral dan sedang booming "Buya Hamka (Vol I)"? Itu lho yang pemeran utamanya Vino G Bastian sama Laudya Cinthia Bella. Pokoknya kece abis akting mereka berdua.😍
Sekilas info aja ya, kalau yang sudah sempat menonton dan mungkin agak sedikit bingung dengan plot atau alur ceritanya, coba deh di baca pelan-pelan ringkasan kisah Buya Hamka berikut. Dijamin lebih paham dan ga ilfeel  lagi kalau besok nonton film Buya Hamka Vol II dan Vol III. 
Fyi, ringkasan kisah Buya Hamka ini mungkin akan lebih banyak menyita waktu membaca kalian karna lumayan puanjaang ya😁 So, siapin hati, konsentrasi bahkan roti juga boleh buat teman mencermati kisah di bawah ini. Semangatttt!💪😅

Latar Belakang Keluarga: Basis Pembentukan Kepribadian Buya Hamka

Buya Hamka lahir pada tanggal 16 Februari tahun 1908, bertepatan dengan 13 Muharam 1326 H di Sungai Batang, Maninjau Kabupaten Agam Sumatera Barat dan wafat pada 24 Juli tahun 1981 di Jakarta. Ibunya bernama Shafiyah, dan ayahandanya Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul adalah salah seorang ulama penggerak Kaum Muda di Minangkau. Kakek Hamka, Haji Amrullah, dikenal sebagai Tuanku Kisai, adalah salah seorang ulama pemimpin Tarekat Naqsabandiyah di daerahnya, salah seorang ulama Kaum Tua. 

Kakek buyut Buya Hamka, Haji Abdullah Arief dari Pauh Pariaman, dikenal sebagai Tuanku Pariaman, adalah salah seorang ulama yang terlibat dalam perang Paderi (1821-1837 M) melawan penjajah Belanda. Tuanku Pariaman mempunyai santri yang bernama Abdullah Saleh yang dinikahkan dengan putrinya Siti Saerah. Dari pernikahan tersebut lahir Haji Amrullah, kakek Buya Hamka, ayah dari Haji Rasul.

Pendidikan dan Pengalaman Pengelanaan (Perjalanan Mengembara)

Latar belakang garis keturunan Buya Hamka yang berdarah pejuang, disertai jiwa pembaharuan yang diwariskan dari ayahandanya Haji Rasul merupakan landasan utama pembentukan kepribadian Buya Hamka sebagai sosok pejuang gigih, berpendirian teguh atas dasar kebenaran yang diyakini, disertai hati dan jiwa yang lembut, menjadi keunikan kepribadian Buya Hamka. Corak kepribadian demikian mewarnai seluruh gerak perjuangan hidup dan langkah pergerakan yang ditempuhnya untuk membebaskan umat dan bangsanya dari keterbelakangan serta penindasan dari penjajahan dengan segala bentuknya.

Buya Hamka di masa kanak-kanak belajar membaca Al Qur’an langsung pada ayahnya Haji Rasul. Di usia 7 tahun, Buya Hamka dimasukkan di Sekolah Desa di pagi hari, dan di sore harinya mengikuti pendidikan Diniyah. Selanjutnya ia mengikuti pendidikan di Sumatera Thawalib, dipimpin oleh Zainuddin Labay di Padang Panjang. Pengalaman mengikuti Sekolah Desa yang berbeda dengan sekolah yang diperuntukkan bagi anak pegawai Belanda dimana Buya Hamka merasakan superioritas anak pegawai Belanda tersebut. Hal itu telah menumbuhkan ketidaksukaan Buya Hamka terhadap kolonial Belanda

Buya Hamka yang dipersiapkan ayahnya Haji Rasul sebagai ulama penerus peran ayahandanya, ketika bersekolah di Madrasah Diniyah pada usia 7-10 tahun bersama murid lain yang umurnya berbeda-beda, tidak menaruh minat terhadap pelajaran di madrasah tersebut. Satu-satunya pelajaran yang disukai hanyalah mata pelajaran ‘arudh, sastra Arab. 

Karena itu, Buya Hamka sering meninggalkan sekolah dan mencuri waktu untuk menonton bioskop atau aktivitas yang menyenangkan anak seusianya. Itulah mengapa pencapaian hasil belajar Buya Hamka tidak sesuai dengan harapan dan mengecewakan ayahandanya. Sikap ayahnya yang keras, ditambah pengalaman “menyakitkan” bagi Hamka atas perceraian ayahnya dengan ibundanya Shafiyah, membuat Buya Hamka banyak menarik diri dari ayahnya. Walaupun hubungan Buya Hamka dengan ayahnya tidak terlalu baik, namun Buya Hamka mengikuti saja ketika ayahnya menghendaki dia belajar pada Syekh Ibrahim Musa di Parabek, Bukittingi Selebihnya Buya Hamka yang mempunyai minat dan hobi membaca buku melanjutkan pendidikannya secara otodidak.

Kunjungan Buya Hamka ke pulau Jawa pada tahun 1923 di usia 15 tahun memberi kesempatan kepadanya untuk belajar pada tokoh-tokoh pergerakan di Yogyakarta. Mengikuti pamannya Haji Ja’far Amrullah, yang meninggalkan perniagaannya karena ingin belajar agama, Buya Hamka ikut belajar cukup intens dengan tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo, Haji Suryopranoto, Haji Fachruddin, KH Mas Mansyur, dan juga pada kakak iparnya A.R.Sutan Mansyur di Pekalongan. Kesempatan belajar dengan tokoh-tokoh tersebut bagi Buya Hamka telah membuka cakrawala berfikirnya, karena dia merasa itulah pengalaman belajar yang sebenarnya dalam memahami agama, sekaligus menggali semangat pergerakan dari interaksi dengan para tokoh tersebut.

Sepulangnya dari Jawa pada tahun 1925, Buya Hamka mulai memperlihatkan kemampuannya sebagai orator yang menginspirasi umat di kampung halamannya. Namun, bukannya apresiasi yang diperoleh Hamka dari ayahandanya atas capaian anak yang diharapkannya itu. Dengan sifat keras ayahnya, ia malah berucap “pidato-pidato saja itu percuma, isilah dulu dengan pengetahuan barulah ada manfaat pidato-pidatomu itu”. Walaupun ucapan ayahnya dapat dipahami untuk memotivasi Buya Hamka agar belajar lagi menimba ilmu, hanya cara penyampaian ayahnya yang keras makin menjauhkan hubungan Buya dengan ayahnya. 

Pada tahun 1927, tanpa pamit pada ayahandanya sebagai reaksi atas kritik keras ayahnya, Buya Hamka berangkat ke tanah suci dengan niat melaksanakan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama pada ulama di Mekkah. Baru setelah di Mekkah, Buya Hamka berkirim surat pada ayahnya bahwa ia telah selesai menjalankan ibadah haji. Karena ia berangkat tanpa persiapan biaya, Buya Hamka sempat bekerja di perusahaan percetakan dan penerbitan Hamid Kurdi, mertua dari Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Selama bekerja disitu, Buya Hamka dapat memenuhi minat bacanya dengan mempelajari buku-buku keislaman berbahasa Arab.

Ketika di Mekkah setelah menunaikan ibadah haji, Buya Hamka bertemu dengan Haji Agus Salim, tokoh pergerakan Syarikat Islam. Ia menyarankan Buya Hamka untuk kembali ke tanah air agar mendapatkan peluang lebih baik untuk kesempatan belajar dan mengembangkan dirinya di pergerakan. Hal itu yang menginspirasi Buya Hamka untuk kemudian kembali ke tanah air. 

Sekembalinya dari Mekkah, Buya Hamka tidak pulang ke kampung halamannya, tapi tinggal di Medan dan mulai mendapatkan pekerjaan sebagai guru. Karena telah menjadi haji dengan nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Buya Hamka diminta pulang ke kampung halamannya di Minangkabau, dan juga permintaan dari ayahandanya Haji Rasul. Buya Hamka tidak memenuhi permintaan tersebut, yang menunjukkan kekerasan hatinya menegakkah harga diri. Namun, ayahnya mengutus ipar Hamla, Haji AR Sutan Mansur, seorang yang lemah lembut untuk melunakkan hati Buya Hamka. Barulah setelah itu Buya Hamka kembali ke Padang Panjang.


Pertemuan kembali dengan ayahandanya yang menyambut Buya Hamka dengan penuh kebahagiaan telah meruntuhkan jurang pemisah hubungan ayah dan anak tersebut. Buya Hamka menangis dalam pertemuan mengharukan tersebut. Setelah itu ia menulis buku legendaris “Ayahku” untuk menunjukkan khidmatnya pada ayahandanya. Kemudian Buya Hamka dinikahkan dengan Siti Raham pada tahun 1929, di usia 21 tahun, yaitu dengan gadis pilihan ayahnya yang kala itu masih berusia 15 tahun.

Terlibat dalam Pergerakan

Gelora perjuangan yang telah tertanam sejak Buya Hamka berkunjung dan belajar pada tokoh-tokoh pergerakan di Yogyakarta, tumbuh kembali saat pulang ke Padang Panjang dengan keterlibatannya dalam persyarikatan Muhammadiyah. Pada tahun 1928 ia diangkat sebagai ketua cabamg Muhammadiyah Pandang Panjang dan ia mendirikan sekolah Kulliyatul Muballighin di kota itu bersama pengurus Muhammadiyah yang lain. Buya Hamka juga ikut terlibat dalam beberapa kali Muktamar Muhammadiyah, yang diadakan di Bukittinggi pada tahun 1930 dan pada Muktamar berikutnya. Hamka juga mendapat kepercayaan sebagai Konsul Muhammadiyah di Makasar pada 1932 selama 3 tahun, dan setelah itu sebagai Konsul di Sumatera Timur pada masa pendudukan Jepang.

Keterlibatan dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

Keberadaan Persyarikatan Muammadiyah di Sumatera Barat tidak dapat dilepaskan dari gerakan Kaum Muda berhadapan dengan Kaum Tua di daerah tersebut, yang antara lain melibatkan ayahanda Buya Hamka, Haji Rasul dan teman-temannya. Kakek Buya Hamka sendiri, Haji Amrullah Tuanku Kisai adalah pemimpin tarekat Naqsyabandiyah di daerah Maninjau Kabupaten Agam dan bagian dari Kaum Tua. Kaum Muda melihat bahwa praktek tarekat banyak mengandung penyimpangan dari ajaran Islam. Namun hal itu tidak mengganggu hubungan ayah Tuanku Kisai dan anaknya Haji Rasul. 

Gerakan Kaum Muda disertai rintisan modernisasi pendidikan Islam di daerah Sumatera Barat, antara lain seperti mendirikan Perguruan Sumatera Thawalib yang dirintis oleh Zainuddin Labay dengan Haji Rasul. Selanjutnya Rahmah El Yunusiyah juga mendirikan Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang, dan Haji Abdullah Ahmad yang mendirikan Sekolah Adabiyah di Padang. Lembaga-Lembaga pendidikan tersebut telah menerapkan sistem klasikal berjenjang dengan mengadopsi pengetahuan umum ke dalam kurikulumnya.

Minangkabau: Adat dan Sistem Sosial

Buya Hamka yang menghabiskan masa kecilnya di Minangkabau dengan adat dan system kekerabatan matriachaat yang berpatokan pada garis keturunan dari pihak ibu, Sistem adat demikian dalam pikiran Buya Hamka seolah menempatkan laki-laki tanpa posisi yang jelas. Sebagai suami dan laki-laki Minang dalam posisi sebagai orang sumando di rumah keluarga isterinya, tanpa ada “kuasa” dalam pengambilan keputusan. Menurut aturan adat yang memberi nafkah pada anaknya adalah ninik mama yaitu saudara laki-laki ibu. Bila terjadi perceraian, maka suami yang berstatus urang sumando harus meninggalkan rumah yang ditempati bersama isteri dan anaknya. Disamping itu aturan waris adat atas harta pusaka digunakan secara turun temurun menurut garis keturunan ibu dan yang berhak memanfaatkan harta pusaka adalah kaum perempuan. Hal itu menjadi salah satu faktor yang mendorong tradisi merantau pada laki-laki Minang. 

Buya Hamka yang memiliki bakat menulis kemudian mengekspresikan kritik terhadap praktek adat dan sistem sosialnya melalui karya-karya sastra, seperti dalam buku Tenggelamnya Kapal Vanderwijck, Merantau ke Deli, dan buku sastra lainnya. Buya Hamka yang bergelar Datuk Indomo adalah bagian dari struktur masyarakat adat di Minangkau, pada mulanya bersikap kritis terhadap praktek adat Minang dan melihat itu sebagai praktek “masa jahiliyah” yang akan berubah sejalan dengan perubahan masa. Seterusnya Hamka lebih mencurahkan perhatiannya pada penerapan adagium/pepatah/peribahasa “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” dengan berupaya menyelaraskannya ke dalam praktek adat di kehidupan sehari-hari, seperti pengaturan harta hasil mata pencaharaian suami dan isteri selama masa pernikahan sebagai harta yang diwariskan menurut hukum waris Islam. 

Struktur sosial masyarakat Minangkabau yang berpatokan “tungku tigo sajarangan” yang terdiri dari unsur ninik mamak dari suku-suku dan kaum di daerah tersebut; unsur cerdik pandai yaitu mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dan layak untuk ikut dalam pengambilan keputusan; serta unsur alim ulama dari agama Islam yang dianut masyarakat Minang. Struktur masyarakat dalam susunan “tungku tigo sejarangan” tersebut menurut Buya Hamka menjadi kekuatan tersendiri, terutama ketika berhadapan dengan kaum penjajah, karena tidak mudah dikooptasi oleh penjajah. Hal itu berbeda dengan struktur masyarakat di daerah lain di Sumatera khususnya, yang berada di bawah kendali kekuasaan kesultanan, yang lebih mudah dikooptasi penjajah.

Menghadapi Penjajahan Belanda dan Jepang

Buya Hamka sedang menjalankan tugas sebagai Konsul Muhammadiyah di Sumatera Timur ketika berlangsung pendudukan Jepang pada tahun 1942. Ketika itu, Buya Hamka juga memimpin majalah bulanan Pedoman Masyarakat yang terbit saat ia berada di Medan (1936-1942), penerbitan majalah tersebut terhenti pada tahun 1942, karena dibredel (dihentikan penerbitannya) oleh Jepang. Pada masa pendudukannya di wilayah Indonesia, Jepang menerapkan strategi memberikan janji kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. 

Hal itu dilakukan untuk mengambil hati rakyat agar memberikan dukungan pada Jepang menghadapi Sekutu. Jepang yang menempatkan diri sebagai Saudara Tua juga mendekati para tokoh pribumi, antara lain dari organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, al Washliyah, al Ittihadiyah dan dari unsur Kesultanan di daerah. Jepang berupaya melibatkan mereka memberikan dukungan pada Jepang dengan memberikan iming-iming posisi di berbagai institusi yang diinisiasi Jepang.

Janji kemerdekaan yang diumbar Jepang merupakan senjata ampuh untuk mendapatkan dukungan para tokoh pribumi. Dalam praktek Jepang melakukan propaganda agar para tokoh pribumi menggerakkan rakyat meningkatkan hasil bumi serta kewaspadaan menghadapi perang dengan Sekutu.

Banyak tokoh yang menginginkaan kemerdekaan terpanggil bersikap kompromis dengan Jepang. Buya Hamka sebagai konsul Muhammadiyah di Sumatera Timur, termasuk yang didekati Jepang bersama tokoh organisasi Islam lain seperti Al Washliyah, al Ittihadiyah. Buya Hamka merujuk pada Sukarno yang sempat ditemuinya di Jakarta dan berdialog ketika mengunjungi ayahnya yang sakit di kota itu. 

Oleh sebab itu, seperti halnya Sukarno, Buya Hamka termasuk diantara mereka yang bersikap kompromis dengan Jepang dan menerima jabatan sebagai “Penasehat Agama Islam” yang diberikan Jepang, dan juga pada tahun 1944 diangkat sebagai anggota Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat). Ia mengambil sikap demikian dengan pertimbangan kelancaran dakwahnya di Muhammadiyah yang juga mendapat banyak tantangan dari pihak kesultanan Deli. 

Namun sikap yang diambil Buya Hamka berakibat fatal dan pahit bagi dirinya, yang ketika ada berita bahwa Jepang kalah di tahun 1945, Buya Hamka kebingungan karena terkait kemerdekaan yang dijanjikan Jepang. Buya Hamka meninggalkan Medan menuju Sumatera Barat. Dan ketika kembali ke Medan beberapa hari kemudian, ia diterima dengan sikap sinis oleh lingkungannya.

Berhadapan dengan Agresi Belanda Kedua

Semangat untuk terwujudnya kemerdekaan RI tidak pernah surut pada diri Buya Hamka. Dari tahun 1945 sampai tahun 1949, Buya Hamka bersama tokoh pejuang lain ikut ambil bagian melawan agresi Belanda. Ia ditunjuk oleh Bung Hatta Wakil Presiden RI kala itu sebagai Sekretaris Front Pertahanan Nasional, yang merupakan gabungan dari partai-partai politik di Sumatera Barat dalam memperkuat persatuan menghadapi Belanda. Buya Hamka juga ikut mendirikan Badan Pembela Negara dan Kota (BNPK), pasukan gerilya rakyat yang punya peran besar dalam melawan pasukan Belanda di Sumatera Barat. 

Catatan sebelumnya, pada tahun 1942 ketika Belanda menyadari bahwa kekuasaannya akan berakhir dengan masuknya Jepang, Belanda berusaha mengkonsolidasi kekuasaannya dengan mengumpulkan para tokoh pemimpin pribumi Sumatera Timur di Medan. Buya Hamka juga hadir dalam pertemuan tersebut bersama tokoh keagamaan lain dan dari unsur partai politik. 

Belanda meminta rakyat di Medan untuk memperkuat persatuan guna bersiap bersama sekutu melawan pendudukan Jepang. Dalam kesempatan itu, Belanda meminta ada perwakilan tokoh pribumi untuk menyampaikan sambutan dalam pertemuan tersebut, tapi tidak ada satu pun yang mau tampil. Akhirnya Buya Hamka yang diminta berpidato sebagai wakil ulama. Ia hanya berpidato singkat dan tegas, yang intinya mengucapkan terima kasih kepada pihak Belanda atas himbauan agar memperkuat persatuan. Kemudian respon atas ajakan Belanda untuk berperang melawan Jepang dengan menyampaikan “semoga berhasil”. Pidato singkat Buya Hamka tersebut telah menimbulkan kegusaran dan rasa marah dari pihak Belanda.

Buya Hamka bersama Natsir dan Isa Anshary
Mereka sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh rezim Soekarno, akibat adanya kaitan petinggi partai Masyumi dengan pemberontakan PRRI


Berjuang melalui Dakwah dan Pendidikan

Setelah kemerdekaan, Buya Hamka pada tahun 1950 pindah ke Jakarta dan diminta untuk menjadi dosen di perguruan Tinggi Islam dan juga penasehat di Kementerian Agama. Selain itu, karena interaksinya dengan banyak tokoh pergerakan Islam, Buya Hamka juga terlibat dalam aktivitas partai Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan oleh Sukarno pada tahun 1960.

Pada tahun 1956, selesai membangun rumah tinggal di Kebayoran Baru Jakarta, Buya Hamka gembira dan bersemangat ketika mengetahui di depan rumah tinggalnya itu terdapat tanah lapangan yang disiapkan pemerintah untuk membangun sebuah masjid agung. Pada tahun yang bersamaan, Buya Hamka mendapat undangan kunjungan ke beberapa negara, seperti ke Lahore untuk berbicara di salah satu seminar universitas, kemudian dilanjutkan kunjungan ke Mesir dan bertemu dengan para pemimpin di Mesir. Dalam kunjungan tersebut, Buya Hamka mendapat kesempatan berpidato di Universitas al Azhar Kairo. Pidato Hamka dengan topik “Pengaruh Faham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya” mendapat sambutan luar biasa. Selanjutnya setelah itu Buya Hamka mendapatkan penghargaan gelar Dr HC dari Universitas Al Azhar, Kairo.

Buya Hamka pernah menerima beberapa anugerah di tingkat nasional dan internasional, salah satunya adalah gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974. Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tun Abdul Razak langsung menyampaikan penganugerahan itu kepada Buya Hamka.

Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru - Jakarta Selatan

Setelah Masjid Agung Kebayoran Baru berdiri, Buya Hamka meminta kepada Walikota Jakarta Raya Syamsurijal, sambil menunggu peresmian oleh Presiden Sukarno, untuk mulai menggunakan masjid tersebut sebagai tempat ibadah. Setelah Buya Hamka memulai melaksanakan shalat di Masjid Agung sedikit demi sedikit jamaah masjid mulai bertambah banyak dan mulailah Buya Hamka memberikan penjelasan tentang kandungan ayat-ayat al Qur’an kepada para jamaah yang jumlahnya makin banyak. Itu menjadi awal dakwah Buya Hamka di Masjid Agung Kebayoran Baru. 

Pada tahun 1960, Syekh Mahmud Syaltut, Rektor Universitas Al Azhar Kairo, yang sebelumnya memberikan gelar DR HC kepada Buya Hamka, dalam kunjungannya ke Indonesia dengan salah satu agendanya adalah mengunjungi Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta. Dalam kunjungaan tersebut Syekh Mahmud Syaltut memberikan nama Al Azhar pada Masjid Agung Kebayoran Baru, dan setelah itu kemudian nama Masjid Agung Al Azhar itulah yang tetap digunakan sampai sekarang sebagai pusat dakwah dan pendidikan yang dirintis Buya Hamka.

Jejak-jejak Dakwah dan Pendidikan

Jumlah jamaah shalat dan pendalaman Al Qur’an yang diselenggarakan Buya Hamka di Masjid Agung Al Azhar makin bertambah dari waktu ke waktu. Pendekatan pengajiannya yang sejuk dan inklusif, seperti tetap menerima kaum perempuan yang belum menggunakan busana muslimah atau pakai cat kuku untuk mengikuti pengajian dan shalat di masjid, menambah banyak kalangan menengah yang bersimpati dan ikut bergabung dalam pengajian Buya Hamka. 

Melalui pendalaman pesan ayat Al Qur’an yang menggunakan pendekatan rasional untuk memahaminya, akhirnya jamaah perempuan Buya Hamka di Masjid Agung Al Azhar mulai menggunakan pakaian muslimah dan mulai menerapkan ajaran yang didapatkan dari pengajian tersebut. Bahan kajian pendalaman Al Qur’an di Masjid Agung Al Azhar itu menjadi cikal bakal materi "Tafsir Al Azhar" yang ditulis Buya Hamka dan yang disempurnakan penulisannya ketika Buya Hamka di penjarakan Presiden Sukarno pada tahun 1964 sampai melestusnya Gerakan G30S.  

Pada sekitar tahun 1960-an, mulai muncul permintaan dari jamaah Masjid Agung Al Azhar untuk menyelenggarakan pendidikan diniyah untuk anak-anak. yang kemudian direspon dengan mendirikan PIA (Pendidikan Islam Al Azhar). Kemudian berlanjut pada permintaan mendirikan sekolah TK, SD yang mulai dirintis pada tahun 1963, dan kemudian mendirikan SMA, serta lanjut dengan pendirian Universitas. Sekolah-sekolah Al Azhar yang semula berpusat di Kebayoran Baru kemudian berkembang dan menyebar di berbagai tempat dan daerah, yang kemudian menjadi jejak legacy rintisan Buya Hamka di bidang pendidikan dan dakwah.

Pribadi Buya Hamka yang teguh dengan pendirian, tergambar antara lain ketika Buya Hamka terakhir mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, karena permintaan Menteri Agama pada waktu itu, Jenderal Alansyah Ratu Prawira Negara, untuk membatalkan Fatwa MUI yang mengharamkan menghadiri Perayaan Natal Umat Kristen. Beberapa bulan setelah mundur sebagai pimpinan MUI, Buya Hamka wafat pada bulan Juli tahun 1981. 

Keteladanan Buya Hamka sebagai sosok sederhana dan menghargai mereka yang ingin belajar atau mendapatkan bantuannya juga merupakan kekuatan kepribadian Buya Hamka. Bahkan Buya Hamka tetap mau memenuhi permintaan orang yang pernah “memusuhi dan memenjarakannya, seperti Presiden Sukarno yang sebelum wafatnya meminta dishalatkan oleh Buya Hamka. Permintaan itu dipenuhi oleh Buya Hamka.

Demikian kilas balik kisah Buya Hamka, semoga menambah wawasan para pembaca dan bisa menyempurnakan pemahaman penonton film Buya Hamka yang selanjutnya. Once more, film ini recommended  banget dong, banyak dinamika psikologis yang dapat kita amati dari setiap peristiwa, selain banyaknya pelajaran hidup yang sangat bisa kita ambil sisi positifnya. Buya Hamka, pejuang yang teguh dan berhati lembut.💦


Sumber : Webinar tentang Kontribusi Cendekiawan Muslim di Asia Tenggara. Oleh: Prof. Dr. Nurhayati Djamas, MA, M.Si


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Harus Pura-Pura Bahagia

Berpura-pura kerap kali dimaknai dengan sesuatu yang tidak baik. Tapi terkadang dari persepsi yang lain, berpura-pura dianggap menimbulkan tindakan yang positif, seakan memang sangat diperlukan. Betulkah demikian? Yuk kita bahas. "Am I okay?" Hehehe. Belum tentu yang kita lihat di luar adalah benar-benar cerminan apa yang di dalam. Terkadang manusia pura-pura merasa bahagia karna tidak ingin terlihat lemah karna yang orang lain tahu bahwa kita ini kuat. Kapan terakhir kali kita merasa bahagia? Yaa benar-benar bahagia, bukan kita yang harus merasa bahagia...Cukup lama mungkin jawabannya. Menurut pakar Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Margaretha Rehulina, kondisi berpura-pura bahagia ini populer dinamakan Duck syndrome . Menampilkan diri seperti bebek (duck),  di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Orang yang berpura-pura bahagia berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perju

Sekolah Kehidupan

  Logo SKH "Ah, apa iya kehidupan itu ada sekolahnya?" Sebuah pertanyaan yang sempat terlintas dalam benakku... Kalau browsing internet tentang sekolah kehidupan pasti yang akan muncul adalah platform pembelajaran soft skill secara online berbasis aplikasi audio-based learning yang dapat diunduh secara gratis atau berbayar. Namun bukan itu yang akan ku ceritakan disini... Sekolah kehidupan yang ku maksud adalah sebuah komunitas pembelajar yang concern menerapkan tujuh ilmu penjernih hati dalam kehidupan sehari-hari. Apa saja ilmu penjernih hati atau disingkat 7IPH tersebut? Yaitu ikhlas, sabar, shalat yang khusyu', dzikir, syukur, tawakal dan berprasangka baik (waspada).  Tujuh Ilmu Penjernih Hati merupakan sarana mendekat kepada Allah SWT sekaligus membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati yang sering kita alami. Materi-materi yang terkandung didalamnya berkaitan sangat erat dengan hubungan antar sesama manusia ( hablum minannaas)  dan hubungan manusia dengan Sa

Negeri Ini Hampir Kehilangan Ayah

"Dunia AYAH saat ini tidak lebih dari sebuah kotak. Yaaa, kotak handphone, televisi dan laptop atau komputer. Miris!" Semua pengajar anak di usia dini mayoritas diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap  fatherless country . Banyak ayahdi luar sana yang malu mengasuh anak apalagi jika masih bayi. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini.  Dimana AYAH sang pengajar utama? Dear para ayah, Anak laki-lakimu belajar bagaimana menjadi laki-laki dewasa dari sikapmu dalam keseharian. Anak perempuanmu belajar membangun pemaknaan tentang definisi laki-laki dewasa itu seperti apa dari hasil pengamatannya pada dirimu. Seorang ayah boleh dan harus bersikap tegas namun bukan kasar. Terkadang sikap lembutmu juga sangat dibutuhkan namun bukan menandakan kalau dirimu lemah. Kalau anak laki-laki tidak dekat dengan ibunya, kelak dia dewasa mungkin susah memahami perempuan. Sedangkan anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya, kelak dewasa dia akan me