Dear teman,
Menjelang dua dasawarsa ini, aku lebih banyak menghirup udara dari bumi kutha sala alias kota Solo. Sebuah kota yang membangun citra sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Sejak pensiun mengenakan seragam abu putih, aku melanjutkan pendidikan strata satu dan pasca sarjana di bawah langit kota yang sama. Aku belajar banyak hal dari kota perantauanku ini. Perasaan senang, sedih, kecewa, bahagia pernah menari bersama dalam sebuah bingkai cerita di setiap sudut tempat-tempat ikonik kota Solo.😍
Mungkin kota tempat lahirnya Bapak Joko Widodo, Presiden RI ketujuh ini tidak termasuk kota yang besar di wilayah Jawa Tengah. Namun ikon kota yang terkenal dengan senyuman ramah masyarakat dan sopan santun yang ditunjukkan oleh warganya, nyatanya berhasil membuat aku jatuh hati pada kota ini.
Semboyan “Solo Berseri” (bersih, sehat, rapi) adalah slogan pemeliharaan keindahan kota yang sudah aku ingat sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota yang mengajariku arti asmara.
Eeaaa….. auto senyum-senyum sendiri dech.😉
“Some memories are unforgettable, remaining ever vivid and heartwarming”
Bagi sebagian orang, mungkin masih banyak yang bingung dengan perbedaan Solo dan Surakarta. Aku pun begitu pada awalnya. Memang nama Solo menjadi lebih populer di kalangan masyarakat daripada nama Surakarta. Padahal Solo dan Surakarta adalah nama dua kota yang sebenarnya sama.
Berdasarkan sejarahnya, Solo adalah pembaruan dari kata Sala. Yang mana Sala merupakan nama sebuah desa yang berada di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Secara singkatnya, Solo adalah nama desa dan Surakarta adalah nama keraton.
Pada masa penjajahan Belanda, banyak orang Belanda yang salah melafalkan nama Sala maka digunakanlah nama Solo yang lebih mudah pengucapannya. Sering digunakannya nama Solo sampai akhirnya terbawa hingga saat ini.
Nama Solo masih tetap dipakai untuk acara-acara budaya dan pariwisata seperti Solo menari, Solo Batik Carnival dan sebagainya. Sebutan kota Solo lebih dikenal secara informal yang akhirnya menjadi nama julukan saja.
Sedangkan Surakarta adalah nama resmi Kota Solo, yang secara administratif terdaftar sebagai bagian dari NKRI.
Surakarta merupakan daerah otonom dengan status Kota di bawah Provinsi Jawa Tengah, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara formal, Kota Surakarta lebih populer bila dibandingkan dengan nama Kota Solo. Semua instansi pemerintahan, sekolah, gedung pelayanan masyarakat dapat dipastikan menggunakan nama Surakarta. Jadi, Solo adalah sebutan secara informal. Bisa juga dikatakan sebagai nama gaulnya Surakarta. Sedangkan Surakarta adalah sebutan resmi Kota Solo.
Biasanya wisatawan atau para pelancong baik dari domestik maupun mancanegara yang datang ke kota Solo akan selalu mengunjungi Keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Loji gandrung, pasar Klewer atau wisata belanja batik khas Solo di daerah Laweyan.
Memang destinasi-destinasi tersebut yang populer dikalangan masyarakat untuk dikunjungi. Tapi aku lebih senang bercerita tentang suatu tempat yang memiliki keunikan tersendiri. Sudiroprajan, hhmmm… tempat apakah itu?
Sudiroprajan adalah suatu kelurahan di Solo yang mempunyai banyak kisah menarik di dalamnya. Di tempat ini masih banyak menyimpan sejarah budaya, kehidupan sosial masyarakat dan tentu saja masih melestarikan sajian-sajian kuliner yang sangat menggugah selera. Wow…we all love to eat…. hahaha…
Yuk, aku mulai dari tempat pertama yaa, Pasar Gede. Seperti di Yogyakarta yang punya Pasar Beringharjo, Kota Solo juga punya pasar yang fenomenal. Pasar Gede adalah karya monumental seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang telah banyak membuat karya di tanah Jawa. Pasar Gede menjadi salah satu bangunan bersejarah yang dirancang oleh Thomas Karsten. Tempat ini adalah tempat yang ideal untuk berburu foto bagi orang-orang yang punya hobi fotografi. Termasuk saya, upss...
Bagiku, di setiap perjalanan, pasar adalah tempat terbaik untuk lebih mengenali struktur sosial masyarakat, bagaimana mereka hidup, cara bersosialisasi dan tentu saja sisi-sisi tradisional masyarakatnya. Pencinta fotografi selalu asyik menikmati street photography dan human interest di tempat ini.
Selain itu, Pasar Gede juga menjadi surga bagi para pencinta kuliner.
Bagaimana tidak? 😊
Baru saja melangkah untuk memasuki pintu depan pasar ini, suguhan berbagai macam cemilan tradisional sudah menyambut dengan riang, bahkan panganan lokal yang langka pun dapat ditemui di pasar ini.
Ada cabuk rambak, lenjongan, sate kere, nasi liwet, srabi dan aneka panganan kecil lainnya. Hal paling menarik bagi ku adalah “ngiras” (membeli makanan/minuman yang dinikmati di tempat tersebut) tengkleng yang sangat terkenal kelezatannya dan baru buka setiap pukul 14.00 WIB.
“Jangan ngaku pernah ke Solo kalau belum merasakan nikmatnya tengkleng legendaris” begitulah kira-kira komentar para penikmat kuliner Solo.
Selanjutnya, sedikit bergeser menyebrang dari Pasar Gede, ada sebuah klenteng yang dibangun cukup berdekatan dengan pasar ini. Menurut penuturan warga lokal bahwa klenteng tersebut sudah dibangun jauh sebelum Pasar Gede berdiri dan nama dari klenteng ini adalah Tan Kok Sie yang sudah berdiri kurang lebih tiga abad yang lalu.
Amazing! Klenteng ini juga menarik dari sisi konstruksinya, dimana bangunannya tidak menggunakan paku sama sekali dan hanya dikaitkan dari satu balok ke balok lainnya, sama seperti pembuatan rumah Joglo (rumah khas Jawa).
Satu hal yang menarik dari Sudiroprajan ini adalah tempat asimilasi warga Jawa dan Tionghoa, bahkan hal tersebut masih terjaga hingga saat ini.
Harmonisasi yang sangat indah tentunya. Sehingga di wilayah ini juga sangat terkenal dengan makanan khasnya yaitu Ampiang, dimana filosofi gula arennya menyimbolkan masyarakat Jawa dan kacang yang digunakan, diartikan sebagai simbol masyarakat Tionghoa.
Hal lain yang mencuri perhatianku adalah bisa melihat secara langsung pembuatan kue keranjang. Aku berhasil mengunjungi rumah salah satu warga yang masih setia membuat kue keranjang di wilayah Sudiroprajan.
Kue keranjang adalah kue berwarna coklat yang banyak ditemui pada saat perayaan imlek. Kuliner masyarakat Tionghoa ini bertekstur kenyal, berbahan dasar ketan putih yang dicampur gula pasir dengan proses pengukusan yang tidak sembarangan. Butuh waktu 15 sampai 16 jam untuk memperoleh warna kue keranjang yang cokelat sempurna.
Perjalanan kembali ku lanjutkan menyusuri bangunan-bangunan tua berciri khas rumah warga peranakan yang tinggal di Sudiroprajan. Tiba-tiba langkahku terhenti melihat sebuah prasasti bernama Bok Teko yang mempunyai cerita di suatu masa raja Paku Buwono sedang duduk ditempat tersebut dan penutup teko beliau jatuh ke aliran air dan berubah menjadi ular berkepala dua.
Begitulah warga setempat meyakini cerita yang telah diturunkan secara turun temurun kepada masyarakat sehingga menambah khazanah perjalanan ku kala itu.
Sungguh perjalanan yang indah dan sangat berarti. 💕
Aku lebih banyak memahami apa makna beberapa wilayah di kota solo yang sering ku jelajahi selama bertahun-tahun. Selalu ada kisah unik dan menarik di setiap perjalanan.
Terimakasih kutha Sala, the spirit of Java…… untuk semua keindahanmu dan warisan wisata sejarah serta tradisi yang masih kau pegang teguh di tengah kuatnya arus globalisasi dan kecanggihan teknologi digital yang begitu hebatnya. Setiap kisah dan fase kehidupan yang ku lalui bersamamu selalu tersimpan indah dalam diska kenangan.
Ku raih cangkir teh telangku dan meneguknya hingga tak bersisa, ku pandangi sejenak mangkok kosong yang tadinya berisi timlo komplit khas Solo kegemaranku.
Aku melangkah lagi bersama senja, menyusuri kota yang selalu ku rindukan, membawa kisah-kisah yang sulit dilupakan, bersama senyuman bahagia.😊
Menjelajahi tempat-tempat baru memberiku fresh start dari semua kekacauan emosi. Pengalaman baru yang ku temui selalu sukses me-refresh otak dan mood ku.
That's why, travelling is considered as a form of self healing.💜
So, self healing is needed when there are thoughts or feelings that interfere with daily activities and daily functions.💜
Rasanya belum self healing klo belum menjajaki solo. Inysa Allah siap-siap packing ke sana dech buat liat budaya, makanan, dan hal-hal indah di sana...pandu saya y mba..heee
BalasHapusbener banget,...setuju....traveling merupakan self healing...ayo mba Wulan...wajib ke Solo,..saya baru saja bulan ini dari Solo, kotanya tertib,paling terkesan sama angkutan umumnya diprogram sedemikian rupa bak di luar negeri
BalasHapusBeberapa kali ke Solo, selalu berkesan. Kota yang ngangeni, recommended banget buat dijadikan tujuan traveling.
BalasHapusMembaca ulasan ini membuat saya merindukan masa di mana travelling itu terasa sangat mudah, Mba. Sekarang, travelling menjadi satu hal yang mahal luar biasa. Semoga keadaan lekas membaik. Sembuhlah, dunia agar banyak dunia yang bisa kita jangkau.
BalasHapusduh....jadi pingin ke Solo, ciri khas makananya menggiurkan ya. semoga ada rezekinya ke sana, aamiin..
BalasHapus