Langsung ke konten utama

Etika Sosial Saat Pandemi


                         

                                               

Dear Teman, 

Pandemi covid-19 masih menjadi tema yang begitu sangat populer di segala media massa bangsa bahkan seluruh belahan dunia. 

Rasa khawatir dan takut yang selalu membayang-bayangi masyarakat di berbagai lini kehidupan selama masa pandemi ini ternyata belum dapat terhapuskan dengan kondisi yang hampir membaik.

Tentu hal ini tidak lepas dari faktor pemberitaan yang tanpa henti mempublikasi tentang angka-angka para korban yang terpapar covid. 

Informasi yang terus mengalir ini memberikan dampak perubahan pada pola hidup seseorang, yang kemudian bermuara pada munculnya perubahan kehidupan sosial. 

Perubahan yang dimaksud tidak melulu yang bersifat negatif namun sebaliknya banyak perubahan positif yang  menjadi fenomena spesial di masyarakat akhir-akhir ini seperti ; setiap orang masa ini lebih intens  memperhatikan kebersihan pribadi dan lingkungan, menerapkan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat) dengan rajin mencuci tangan menggunakan sabun/hand sanitizer, disiplin menggunakan masker, menjaga jarak kontak fisik, menghindari kerumunan, mengkonsumsi makanan sehat ditambah rajin berolahraga.

Berbicara mengenai hal positif akibat suatu perubahan tentu diiringi pula dengan hal yang negatif. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa wabah virus corona telah menjadi babak baru dari kehidupan sosial masyarakat terkini. 

Suka tidak suka atau mau tidak mau harus dihadapi oleh setiap manusia di seluruh dunia tak terkecuali kita yang hidup di Indonesia. 

Sikap perlindungan diri yang berlebihan saat ini baru dialami oleh masyarakat di sekitar kita. Misal seseorang yang merasa curiga berlebih pada orang lain yang kebetulan sedang sakit (batuk, demam/bersin). 

Otomatis kita akan segera menjauhi orang tersebut ketimbang bertegur sapa atau mengekspresikan kepedulian sepele lainnya. 

Anggapan ini tentu masih sangat bersifat spekulatif, namun tidak mustahil bila ancaman virus corona saat ini tidak hanya merenggut kesehatan seseorang namun sekaligus merenggut sisi empati sosial seseorang terhadap sesamanya.

Ketidaksanggupan seseorang untuk me-manage perasaan curiga dan khawatir yang berlebih akan berpotensi merusak interaksi sosial yang telah berlangsung baik dengan individu lain akibat kuatnya isu corona. 

Cukuplah manusiawi saat seseorang mulai memberikan respon yang antisipatif dalam menyikapi kondisi sekarang. 

Namun demikian, perlu diingat bahwa ada etika sosial dalam durasi pandemi yang harus di junjung tinggi dan dipelihara agar interaksi yang sudah terjalin dengan baik tetap terjaga. Wabah virus corona nyatanya telah mampu menciptakan sebuah ketakutan dan rasa was-was bagi kita semua namun sebaiknya hal ini tidak sampai menghalangi apalagi merusak cara kita “memanusiakan” manusia. 

Oleh karna itu, langkah nyata apa yang semestinya diterapkan agar wabah corona tidak menimbulkan persoalan etis yang berkelanjutan

Ada beberapa literatur teori etika yang sering dijadikan acuan dalam mengambil keputusan dan melakukan sesuatu

Setiap teori tersebut, tentu tidaklah sama dalam memberikan jawaban bila mana seseorang berhadapan dengan persoalan etis di masyarakat. Masing-masing selalu memiliki kelebihan dan juga kelemahan. 

Pertama, etika deontologis yang melandaskan sebuah tindakan pada kewajiban dan memiliki fokus bahwa berbuat baik merupakan kewajiban manusia. Suatu perbuatan itu adalah baik bukan dinilai dari akibat atau tujuan baik dari tindakan tersebut, melainkan baik menurut dirinya sendiri. 

Etika deontologi lebih mementingkan kemauan baik dan kesadaran kuat seseorang, terlepas dari dampak perilaku itu sendiri. Sisi kelemahan etika ini adalah ketika seseorang berhadapan dengan situasi dilematis, misalnya ada dua kewajiban yang saling mengeliminasi satu sama lain, sedangkan keduanya menuntut segera dilaksanakan.

Kedua, etika utilitarianisme yang melandaskan sebuah tindakan yang dapat menghasilkan kebahagiaan bagi sebagian besar orang banyak dan secara moral perbuatan ini benar. 

Suatu perbuatan atau sikap itu dinilai benar secara moral bila menghasilkan hal terbaik bagi banyak orang, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Falsafahnya adalah "The greatest good for the greatest number", sebanyak mungkin kebaikan untuk sebanyak mungkin orang. Sekalipun teori ini kelihatan rasional, namun tetap memiliki kelemahan, seperti: etika ini membenarkan pengorbanan atas minoritas demi mayoritas secara tidak langsung

Ketiga, etika keutamaan yang melandaskan pada pengembangan karakter diri setiap orang. 

Sesuai dengan pendapat Aristoteles bahwa nilai moral itu muncul dari pengalaman hidup bermasyarakat dan keteladanan para tokoh besar dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Menurut teori ini, nilai moral tidak didikte oleh perintah atau larangan, namun dihayati dari contoh hidup para tokoh seperti kesetiaan, kejujuran, keadilan dan kasih sayang. Seseorang tidak sekadar melakukan perbuatan adil (doing something that is just), tapi adil sepanjang hayat (being a just person).

Ketika seseorang berhadapan dengan situasi dilematis, teori etika ini memberi jawaban: 

"Teladanilah sikap dan perilaku moral dari tokoh yang kamu kenal, baik dalam masyarakat atau sejarah saat mereka menghadapi situasi yang sama. Itulah tindakan benar secara moral.” 

Namun layaknya teori-teori lain, teori ini pun memiliki kelemahan yaitu kesulitan menemukan tokoh yang bisa diteladani. 

Dalam kaitannya dengan situasi pandemi covid-19 yang memunculkan persoalan etis seperti yang telah dibahas sebelumnya, maka ketiga teori etika yaitu deontologi, utilitarianisme dan etika keutamaan memberikan jawaban yang tidak sama terhadap permasalahan etis yang ada. 

Misal, kriteria apakah yang harus digunakan seorang dokter dan perawat dalam merawat pasien covid-19? 

Prinsip etika deontologis berpendapat, dokter dan perawat harus menolong semua pasien covid-19 tanpa pandang bulu karena itu adalah kewajiban dan tanggung jawab tenaga medis untuk menyelamatkan nyawa pasien. 

Sementara itu, prinsip utama etika utilitarianisme adalah dampak dari perbuatan. Dokter dan perawat berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin pasien covid-19. 

Adapun etika keutamaan yaitu menekankan bahwa jadilah dokter dan perawat yang baik, karena dari pribadi yang baik akan menghasilkan perbuatan yang baik juga.

Menciptakan perubahan yang positif memang tidak segampang membalikkan telapak tangan. 

Perlu kemauan yang kuat dan adaptasi yang baik. 

Mari di mulai dari diri sendiri dan dari hal yang paling sepele sekalipun. 

Tidak perlu banyak menyalahkan keadaan yang sedang terjadi. 

Fokus berbuat baik saja. 

Semangat menjadi pribadi yang positif meskipun kondisi sedang saling berseberangan. 

Bermetamorfosislah dengan elegan agar menjadi pribadi yang bermanfaat bagi banyak orang.

Milikilah etika sosial saat pandemi yang tidak sebentar ini.

 




 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Harus Pura-Pura Bahagia

Berpura-pura kerap kali dimaknai dengan sesuatu yang tidak baik. Tapi terkadang dari persepsi yang lain, berpura-pura dianggap menimbulkan tindakan yang positif, seakan memang sangat diperlukan. Betulkah demikian? Yuk kita bahas. "Am I okay?" Hehehe. Belum tentu yang kita lihat di luar adalah benar-benar cerminan apa yang di dalam. Terkadang manusia pura-pura merasa bahagia karna tidak ingin terlihat lemah karna yang orang lain tahu bahwa kita ini kuat. Kapan terakhir kali kita merasa bahagia? Yaa benar-benar bahagia, bukan kita yang harus merasa bahagia...Cukup lama mungkin jawabannya. Menurut pakar Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Margaretha Rehulina, kondisi berpura-pura bahagia ini populer dinamakan Duck syndrome . Menampilkan diri seperti bebek (duck),  di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Orang yang berpura-pura bahagia berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perju

Sekolah Kehidupan

  Logo SKH "Ah, apa iya kehidupan itu ada sekolahnya?" Sebuah pertanyaan yang sempat terlintas dalam benakku... Kalau browsing internet tentang sekolah kehidupan pasti yang akan muncul adalah platform pembelajaran soft skill secara online berbasis aplikasi audio-based learning yang dapat diunduh secara gratis atau berbayar. Namun bukan itu yang akan ku ceritakan disini... Sekolah kehidupan yang ku maksud adalah sebuah komunitas pembelajar yang concern menerapkan tujuh ilmu penjernih hati dalam kehidupan sehari-hari. Apa saja ilmu penjernih hati atau disingkat 7IPH tersebut? Yaitu ikhlas, sabar, shalat yang khusyu', dzikir, syukur, tawakal dan berprasangka baik (waspada).  Tujuh Ilmu Penjernih Hati merupakan sarana mendekat kepada Allah SWT sekaligus membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati yang sering kita alami. Materi-materi yang terkandung didalamnya berkaitan sangat erat dengan hubungan antar sesama manusia ( hablum minannaas)  dan hubungan manusia dengan Sa

Negeri Ini Hampir Kehilangan Ayah

"Dunia AYAH saat ini tidak lebih dari sebuah kotak. Yaaa, kotak handphone, televisi dan laptop atau komputer. Miris!" Semua pengajar anak di usia dini mayoritas diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap  fatherless country . Banyak ayahdi luar sana yang malu mengasuh anak apalagi jika masih bayi. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini.  Dimana AYAH sang pengajar utama? Dear para ayah, Anak laki-lakimu belajar bagaimana menjadi laki-laki dewasa dari sikapmu dalam keseharian. Anak perempuanmu belajar membangun pemaknaan tentang definisi laki-laki dewasa itu seperti apa dari hasil pengamatannya pada dirimu. Seorang ayah boleh dan harus bersikap tegas namun bukan kasar. Terkadang sikap lembutmu juga sangat dibutuhkan namun bukan menandakan kalau dirimu lemah. Kalau anak laki-laki tidak dekat dengan ibunya, kelak dia dewasa mungkin susah memahami perempuan. Sedangkan anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya, kelak dewasa dia akan me